“Sejarah Hadis (Pertumbuhan dan Perkembangannya)”

Minggu, 31 Maret 2013



MAKALAH
 Sejarah Hadis (Pertumbuhan dan Perkembangannya)
Diajukan sebagai tugas terstruktur untuk
Mata Kuliah    : Pengantar Studi Hadis
Dosen              : Hj.Ery Khaeriyah,MA
Disusun Oleh Kelompok 5:
1.    Ana Triyana                                   (14121520511)
2.    Ghifari Ayunda C                         (14121510628)
3.    Muriya                                           (14121520518)
4.    Musyfiah                                       (14121520519)

     Fakultas / Jurusan : Tarbiyah / Tadris Matematika
Kelas / Semester : C / 2 (dua)

IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
Jl. Perjuangan By Pass Sunyaragi Cirebon - Jawa Barat 45132
Telp : (0231) 481264 Faxs : (0231) 489926


KATA PENGANTAR
                            
            Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah Swt, atas limpahan serta hidayahnya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Sejarah Hadits (Pertumbuhan dan Perkembangan Hadits) dengan harapan dapat dimanfaatkan oleh semua jurusan di perguruan tinggi, sebagai bahan diskusi pada tatap muka perkuliahan.

Shalawat serta salam semoga Allah SWT selalu mencurahkan kepada baginda Nabi  besar kita, pemimpin yang arif, penunutun jalan kebenaran, yaitu nabi Muhammad SAW. Dan kita selaku umatnya selalu mengharapkan syafa’atnya di yaumul qiyamat nanti. Aamiin.

Diakhir kata kami sangat berharap sekali kepada seluruh yang membaca makalah yang kami sajikan untuk selalu memberikan motivasi untuk kepada kami, sehingga kami mengharapkan kritik dan saran dari kalian. Terutama untuk dosen pengampu kami dan para kerabat dekat kami.

Jikalau penyusun benar itu merupakan sebuah hidayah yang datang dari Allah SWT, dan jikalau penyusun banyak kesalahan itu merupakan suatu kewajaran dalam diri manusia. Karena manusia merupakan tempat kesalahan dan dosa, maka saya meminta maaf yang sebesar-besarnya.

Penyusun menyadari akan keterbatasan makalah ini, dan dalam keterbatasan ini penulis mohon maaf. Penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat. Umumnya bagi pembaca, dan khususnya bagi penyusun sendiri.



  Cirebon, 8  Maret 2013
                                                                                                                          
                                                                                         
Penyusun






DAFTAR ISI

Kata Pengatar......................................................................................................... ........... i
Daftar Isi................................................................................................................ .......... ii
BAB I PENDAHULUAN
          1.1Latar Belakang................................................................................... ..................... 1
1.2Rumusan Masalah............................................................................... .................... 2
1.3Tujuan ................................................................................................ .................... 2
BAB II PEMBAHASAN
          2.1 Pra Kodifikasi
                 2.1.1 Periode Rasulullah SAW.......................................... .................................................. 3
                 2.1.2 Periode Sahabat dan Tabi’in ................................................. ........................8
2.2 Kodifikasi
                 2.2.1 Pembukuan Hadis abad II, III, IV H.................................... ......................13
                 2.2.2 Pembukuan Hadis abad V H hingga sekarang........................ ................... 18
BAB III PENUTUP  
          3.1 Kesimpulan........................................................................................ ...................23
          3.2 Saran ................................................................................................. .................. 25
DAFTAR PUSTAKA
 

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Hadis  telah  ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat diragukan lagi. Sesungguhnya semasa hidup Rasulullah adalah wajar sekali jika kaum muslimin (para sahabat r.a.) memperhatikan apa saja yang dilakukan maupun yang diucapkan oleh beliau, terutama yang berkaitan dengan fatwa-fatwa keagamaan. Orang-orang Arab yang suka menghafal dan syair-syair dari para penyair mereka, ramalan-ramalan dari peramal mereka dan pernyataan-pernyataan dari para hakim, tidak mungkin lengah untuk mengisahkan kembali perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan dari seorang yang mereka akui sebagai seorang Rasul Allah.
Di samping sebagai utusan Allah, Nabi adalah panutan dan tokoh masyarakat. Selanjutnya dalam kapasitasnya sebagai apa saja (Rasul, pemimpin masyarakat, panglima perang, kepala rumah tanggal, teman) maka, tingkah laku, ucapan dan petunjuknya disebut sebagai ajaran Islam. Beliau sendiri sadar sepenuhnya bahwa agama yang dibawanya harus disampaikan dan terwujud secara kongkret dalam kehidupan nyata sehari-hari. Karena itu, setiap kali ada kesempatan Nabi memanfaatkannya berdialog dengan para sahabat dengan berbagai media, dan para sahabat juga memanfaatkan hak itu untuk lebih mendalami ajaran Islam.
Hadis Nabi yang sudah diterima oleh para sahabat, ada yang dihafal dan ada pula yang dicatat. Sahabat yang banyak mengahafal hadis dapat disebut misalnya Abu Hurairah, sedangkan sahabat Nabi yang membuat catatan hadis diantaranya ; Abu Bakar Shidiq, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Amr bin Ash, dan Abdullah bin Abbas.
Minat yang besar dari para sahabat Nabi untuk menerima dan menyampaikan hadis disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya : Pertama, Dinyatakan secara tegas oleh Allah dalam al-Qur’an, bahwa Nabi Muhammad adalah panutan utama (uswah hasanah) yang harus diikuti oleh orang-orang beriman dan sebagai utusan Allah yang harus ditaati oleh mereka.
Kedua, Allah dan Rasul-Nya memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka yang berpengetahuan. Ajaran ini telah mendorong para sahabat untuk berusaha memperoleh pengetahuan yang banyak, yang pada zaman Nabi, sumber pengetahuan adalah Nabi sendiri.
Ketiga, Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk menyampaikan pengajaran kepada mereka yang tidak hadir. Nabi menyatakan bahwa boleh jadi orang yang tidak hadir akan lebih paham daripada mereka yang hadir mendengarkan langsung dari Nabi. Perintah ini telah mendorong para sahabat untuk menyebarkan apa yang mereka peroleh dari Nabi.
1.2    Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan :
Ø  Bagaimana sejarah hadis pra kodifikasi ketika periode Rasulullah SAW?
Ø  Bagaimana sejarah hadis pra kodifikasi ketika periode sahabat dan tabi’in?
Ø  Bagaimana terjadinya pembukuan hadis abad II, III, IV H?
Ø  Bagaimana terjadinya pembukuan hadis abad V H hingga sekarang?
1.3    Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah, sebagai berikut :
Ø  Mengetahui sejarah hadis (pertumbuhan dan perkembangannya) pra kodifikasi periode Rasulullah SAW
Ø  Mengetahui sejarah hadis (pertumbuhan dan perkembangannya) pra kodifikasi periode sahabat dan tabi’in
Ø  Mengetahui sejarah hadis (pertumbuhan dan perkembangannya) kodifikasi pembukuan hadis abad II, III, IV H
Ø  Mengetahui sejarah hadis (pertumbuhan dan perkembangannya) kodifikasi pembukuan hadis abad V H hingga sekarang












BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pra Kodifikasi
Membicarakan sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis bertujuan unuk mengangkat fakta dan peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW kemudian secara periodik  pada masa masa sahabat dan tabi’in serta masa masa berikutnya .
Usaha mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis ini diharapkan dapat menggambarkan sikap dan tindakan umat Islam. Khususnya para ulama ahli hadis terhadap hadis serta usaha pembinaan dan pemeliharaan mereka pada tiap tiap periodenya hingga terwujudnya kitab kitab hasil tadwin secara sempurna. Karena perjalanan hadis pada tiap tiap periodenya mengalami berbagai persoalan dan hambatan yang tidak sama,maka dalam pengungkapan sejarah perjalanannya perlu dikemukakan ciri ciri khusus.
Di antara para ulama terdapat perbedaan dalam menyusun periodesasi pertumbuhan dan perkembangan hadis ini. Ada yang membaginya dalam tiga periode saja, yaitu masa Rasulullah SAW, sahabat dan tabi’in , masa pen-tadwin-an dan masa setelah tadwin. Namun, ada yang membaginya dalam periodesasi lain atau yang lebih terperinci, yaitu lima hingga tujuh periode dengan spesifikasi yang lebih jelas.
2.1.1 Periode Rasulullah SAW
Yang perlu diuraikan secara khusus pada bahasan ini ialah masa Rasulullah SAW, masa sahabat masa tabi’in , masa pen-tadwin­-an atau pembukuan dan masa seleksi atau penyaringan hadis serta masa sesudahnya.
Apabila membicarakan hadis pada masa Rasulullah SAW berarti membicarakan hadis pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan berkaitan langsung dengan pribadi Rasulullah SAW sebagai narasumber hadis. Rasulullah SAW telah membina umatnya selama 23tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu sekaligus di-wurud-kannya hadis. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati hatian para sahabat sebagai ahli waris pertama ajaran Islam.
Wahyu yang diturunkannya Allah SWT kepada Rasulullah SAW dijelaskannya melalui perkataan (aqwal), perbuatan (af’al) dan taqrir nya, sehingga apa yang didengar, dilihat dan disaksikan oleh para sahabat dapat dijadikan pedoman bagi amaliah dan ubudiyah mereka. Pada masa ini Rasulullah SAW merupakan contoh satu satunya bagi para sahabat,karena ia memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku utusan Allah SWT yang berbeda dengan manusia lainnya.
·         CARA RASUL MENYAMPAIKAN HADIS
Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya yaitu umat Islam dapat secara langsung memperoleh hadis dari Rasulullah SAW sebagai sumber hadis. Pada masa ini tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuan mereka.
Tempat tempat pertemuan kedua belah pihak sangatlah terbuka dalam berbagai kesempatan,misalnya masjid, rumah beliau sendiri, pasar, ketika beliau dalam perjalanan (safar), dan ketika beliau muqim (berada di rumah). Melalui tempat tempat tersebut, Rasulullah SAW menyampaikan hadis, melalui sabdanya yang didengar langsung oleh para sahabat (melalui musyafahah) dan terkadang melalui perbuatan serta taqrir-nya yang disaksikan oleh mereka (melalui musyafahah).
Dalam riwayat bukhari, disebutkan Ibnu Mas’ud pernah bercerita bahwa Rasulullah SAW menyampaikan hadisnya denan berbagai cara, sehingga para sahabat ingin mengikuti pengajiannya  dan tidak mengalami kejenuhan.
Ada beberapa cara yang digunakan Rasulullah SAW dalam menyampaikan hadis kepada para sahabat, yaitu:
Pertama, melalui para jamaah yang berada di pusat pembinaan atau majlis al ilmi. Melalui majlis ini, para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadis, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengonsentrasikan dirinya guna mengikuti kegiatan tersebut . para sahabat begitu antusias untuk tetap bisa mengikuti kegiatan di majlis ini.terkadang diantara mereka bergantian hadir, seperti yang dilakukan oleh Umar bin Khattab yang bergantian hadir dengan Ibnu Zaid dari Bani Umayah untuk menghadiri majlis ini. Ia berkata, “Kalau hari ini aku yang pergi, pada hari lainnya ia yang pergi. Terkadang kepala kepala suku yang jauh dari Madinah mengirim utusannya ke majlis ini, untuk kemudian mengajarkannya kepada suku mereka sekembalinya dari sini.”
Kedua, dalam banyak kesempatan, Rasulullah SAW juga menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu, kemudian mereka menyampaikan kepada orang lain. Hal ini terjadi ketika beliau mewurudkan hadis, hanya beberapa sahabat yang hadir, baik karena disengaja oleh Rasulullah SAW atau memang kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang,seperti hadis hadis yang ditulis oleh Abdullah bin Amr bin Al As. Untuk hal hal tertentu, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis (terutama menyangkut hubungan suami istri), beliau menyampaikannya melalui istri istrinya. Begitu juga dengan para sahabat, jika mereka segan bertanya kepada Rasulullah SAW, dalam hal hal yang berkaitan dengan soal di atas , mereka seringkali bertanya kepada istri istri beliau.
Ketiga, cara lain yang dilakukan Rasulullah SAW adalah melalui ceramah dan pidato ditempat terbuka seperti ketika haji wada’ dan Futuh Mekah.
·         PERBEDAAN PARA SAHABAT DALAM MENGUASAI HADIS
Para sahabat tidak memiliki kadar perolehan dan penguasaan hadis yang sama antara satu dan lain. Hal ini bergantung pada beberapa hal berikut ini :
1)   Perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama Rasulullah SAW
2)   Perbedaan dalam soal kesanggupan untuk selalu bersama Rasulullah SAW
3)   Perbedaan  mereka dalam soal kekuatan hafalan dan kesungguhan bertanya kepada sahabat lain
4)   Perbedaan mereka dalam waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal mereka dari Majlis Rasulullah SAW
Ada beberapa sahabat yang banyak menerima hadis dari Rasulullah SAW dengan beberapa penyebab. Mereka adalah antara lain :
1)   Para sahabat yang tergolong kelompok As Sabiqun Al Awwalun (yang mula mula masuk Islam), seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas’ud. Mereka banyak menerima hadis dari Rasulullah SAW karena lebih awal masuk Islam dari sahabat sahabat lainnya.
2)   Ummahat Al Mu’minin (istri istri Rasulullah SAW), seperti Siti Aisyah dan Ummu Salamah. Mereka lebih dekat dengan Rasulullah SAW dari pada sahabat lain. Hadis hadis yang diterimanya,seperti telah dikatakan, banyak yang berkaitan dengan soal soal keluarga dan pergaulan suami istri.
3)   Para sahabat yang selalu dekat dengan Rasulullah SAW dan juga menuliskan hadis hadis yang diterimanya, seperti Abdullah bin Al As.
4)   Sahabat yang tidak lama Rasulullah SAW  tetapi banyak bertanya kepada para sahabat lain dengan sungguh sungguh, seperti Abu Hurairah.
5)   Para sahabat yang secara sungguh sungguh mengikuti majlis Rasulullah SAW  dan banyak bertanya kepada sahabat lain dan dari sudut usia, mereka hidup lebih lama dari wafatnya Rasulullah SAW  seperti Abdullah bin Amr, Anas bi Malik dan Abdullah bin Abbas.

·         MENGHAFAL DAN MENULIS HADIS
a.       Menghafal Hadis
Untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan Al-Quran dan hadis sebagai dua sumber ajaran Islam, Rasulullah SAW menggunakan jalan yang berbeda. Terhadap Al-Quran beliau menginstruksikan kepada sahabatnya supaya menulis dan menghafalnya. Sedangkan terhadap hadis, beliau menyuruh mereka menghafal dan melarang menulisnya secara resmi. Dalam hal ini beliau bersabda :
Apa saja yang kalian tulis apa saja dariku selain Al-Quran, hendaklah dihapus. Ceritakan saja yang diterima dariku. Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaknya mereka menempati tempat duduk di neraka.” (HR. Muslim dan Abu Said Al Khuzri)
Maka para sahabat berusaha menghafal hadis yang diterima dari Rasulullah SAW  dengan sungguh sungguh. Mereka sangat takut dengan ancaman Rasulullah SAW  sehingga berusaha agar tidak melakukan kekeliruan terhadap yang diterimanya.
Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam kegiatan menghafal hadis ini, yaitu :
1)   Kegiatan menghafal merupaka budaya bangsa Arab yang telah diwarisi sejak masa pra Islam dan mereka terkenal kuat hafalannya.
2)   Rasulullah SAW  telah banyak memberikan spirit melalui doa doanya.
3)   Seringkali beliau menjanjikan kebaikan akhirat bagi mereka yang menghafal hadis dan menyampaikannya kepada orang lain.
b.      Menulis Hadis
Sekalipun ada larangan Rasulullah SAW   untuk menulis hadis seperti disebutkan dalam hadis Abu Said Al Khuzri di atas, ternyata ada sejumlah sahabat yang memiliki catatan catatan hadis. Di antara mereka adalah:
1)   Abdullah bin Amr bin Al As. Ia memilii catan hadis yang menurut pengakuannya dibenarkan Rasulullah SAW  sehingga dinamakan As Sahihah As Sadiqah . Menurut suatu riwayat diceritakan bahwa orang orang Quraisy mengeritik sikap Abdullah bin Amr yang selalu menulis apa apa yang datang dari Rasulullah SAW. Mereka berkata : “Engkau menuliskan apa saja yang dating dari Rasulullah SAW, padahal Rasulullah SAW  itu manusia yang bisa saja bicara dalam keadaan marah”. Kritikan ini disampaikannya kepada Rasulullah SAW  , maka Rasulullah SAW  bersabda:
اكتب فو اللذى نفسى بيده ما خرج منه الا حق   
 “ Tulislah! Demi Dzat yang diriku berada ditanganNya tidak ada yang keluar darinya, kecuali benar.” ( HR. Bukhari)
Hadis hadis yang terhimpun dalam catatannya berkisar sekitar seribu hadis yang menurut pengakuannya diterima langsung dari Rasulullah SAW  yaitu ketika ia berada di sisi beliau SAW tanpa orang lain yang menemaninya.
2)   Jabir bin Abdillah bin Amr Al Anshari (w 78H). Ia memiliki catatan hadis dari Rasulullah SAW tentang manasik haji. Hadis hadisnya kemudian diriwayatkan oleh Muslim. Catatan ini dikenal dengan Sahifah Jabir.
3)   Abu Hurairah Ad Dausi (w 58H). Ia memiliki catatan hadis yang dikenal dengan As Sahifah As Sahihah. Hasil karyanya ini diwariskan kepada putranya yang bernama Hamman.
4)   Abu Syah ( Umar bin Saad Al Anmari) seorang penduduk Yaman. Ia meminta kepada Rasulullah SAW  agar dicatatkan hadis yang disampaikan beliau ketika pidato pada peristiwa Futuh Mekah (penaklukan kota Mekah) sehubungan dengan terjadinya pembunuhan yang dilakukan oleh Bani Khuza’ah terhadap salah seorang penduduk Bani Lais. Rasulullah SAW  kemudian bersabda :
 (رواه البخارى وابو داود) اكتبوا ﻷ بى شاة 
“Kalian tuliskan untuk Abu Syah.”

Di samping nama nama diatas, masih banyak lagi nama sahabat lainnya yang memiliki catatan hadis dan dibenarkan Rasulullah SAW  seperti Rafi’ bin Khadij, Amr bin Hazm, Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas’ud.
      Diantara Hadits yang melarang penulisan sunah, seperti periwayatan Abi Sa’id Al-Khudri ra. Bahwa Rasulullah Saw bersabda:
لا تكتبوا عنى ومن كتب عنى غير القران فليمحه    رواه مسلم
Artinya: “Janganlah engkau tulis dari padaku, barang siapa menulis dari padaku selain Al-Qur’an, maka hapuslah.” (HR Muslim)

c.    Para Ulama Men-taufiq-kan Dua Kelompok Hadis yang Kelihatannya Kontradiksi

Ketika melihat adanya kontradiksi pada dua buah hadis seperti pada hadis Abu Said Al-Huzni dan hadis dari Abdullah bin Amr bin Al As yang masing masing didukung oleh hadis hadis lainnya, para ulama terdorong untuk menemukan penyelesaiannnya. Di antara mereka, ada yang mencoba dengan menggugurkan salah satunya, seperti dengan jalan nasikh dan mansukh dan ada yang berusaha mentaufiqkan atau mengompromikannya sehingga keduanya tetap digunakan (ma’mul).
Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, larangan Rasulullah SAW  untuk menuliskan hadis adalah khusu ketika Al-Quran turun. Ini karena adanya kekhawatiran tercampurnya ayat Al-Quran dan hadis . larangan ini dimaksudkan juga untuk tidak menuliskan Al-Quran dan hadis dalam satu suhuf. Ini artinya bahwa ketika Al-Quran tidak turun dan tidak dituliskan pada satu suhuf , maka dibolehkan untuk mencatat wahyu. An Nawawi dan As Suyuti memandang bahwa larangan tersebut dimaksudkan bagi orang yang kuat hafalannya, sehingga tidak adakekhawatiran terjadinya kekeliruan. Akan tetapi, bagi orang yang khawatir lupa atau kurang kuat hafalannya, dibolehkan mencatatkannya.
2.1.2 Periode Sahabat dan Tabi’in
Pro dan kontra tentang penulisan sunah masih terasa pada masa sahabat (Al-Khulafa Al-Rasyidun), karena keinginan mereka untuk menyelamatkan Al-Qur’an dan sunah. Diantara mereka ada yang benci menulis sunah, karena Al-Qur’an belum dikodifikasikan dan dikhawatirkan perhatian mereka tersita atau berpaling dari Al-Qur’an. Seperti periwayatan:
“Urwah Ibn Al-Zubayr, bahwa Umar Ibn Al-Khathab bersama para sahabat setelah bermusyawarah dan disepakati beliau istikharah kepada Allah selama satu bulan, kemudian berkata: sesungguhnya aku ingin menulis sunah dan aku telah menyebutkan suatu kaum sebelum kalian yang menulis beberapa buku kemudian mereka sibuk dengannya dan meninggalkan kitab Allah. Demi Allah sesungguhnya aku tidak akan mencampurkan kitab Allah dengan sesuatu selamanya.”
Pada masa Abu Bakar dan Umar disebut masa pembatasan/penyederhanaan periwayatan (taqlil al-riwayah), penyampaian periwayatan dilakukan dengan lisan dan hanya jika benar-benar diperlukan saja yaitu jika umat Islam menghadapi suatu masalah saja yang memerlukan penjelasan hukum. Kedua khalifah diatas menerima hadits orang perorangan jika disertai dengan saksi yang menguatkan. Bahkan Ali menerimanya jika juga disertai dengan sumpah.
Demikian juga para sahabat lain yang semula melarang menulis sunah akhirnya memperbolehkannya bahkan menganjurkannya setelah tidak ada kekhawatiran pemeliharaan Al-Qur’an seperti Abdullah Bin Mas’ud, Ali Bin Abi Thalib, Hasan Bin Ali, Muawiyah, Abdullah Bin Abbas, Abdullah Bin Umar, Anas Bin Malik, dan lain-lain.
Isu yang ditebarkan para pengingkar sunah bahwa Umar Ibn Al-Khathab pernah memenjara sebagian sahabat yang meriwayatkan hadits diantaranya Ibn Mas’ud, Abu Al-Darda, dan Abu Dzarr. Menurut Mustafa Al-A’zhami setelah mengadakan penelitian diberbagai buku yang dapat dijadikan pedoman (mu’tabar) tidak terbukti, karena tidak ada periwayatan yang menyatakan hal tersebut. Jika terdapat periwayatan sebagaimana isu diatas berarti jelas kepalsuannya. Ibn Mas’ud tergolong sahabat senior dan pendahulu Islam yang dihormati Umar, ia diutus ke Irak untuk mengajarkan agama dan hukum-hukum Islam. Sedangkan Abu Al-Darda dan Abu Dzarr tidak tergolong sahabat yang banyak meriwayatkan hadits, mereka juga pengajar penduduk syam sebagaimana Ibn Mas’ud menjadi guru di Irak. Ibn Hazm juga menjelaskan bahwa riwayat Umar memenjarakan tiga orang sahabat diatas adalah dusta, tidak benar.
Hukum penetapan penulisan hadits terjadi secara berangsur-angsur (Al-Tadarruj). Pada saat wahyu turun, umat Islam menghabiskan waktunya untuk menghapal dan menulis Al-Qur’an. Sunah hanya disimpan dalam dada mereka, disampaikan dari lisan ke lisan dan dipraktekkan dalam kehidupan mereka sesuai dengan apa yang mereka lihat dan apa yang mereka dengar dari panutan yang mulia yaitu Nabi Saw. Kemudian setelah Al-Qur’an terpelihara dengan baik, mereka telah mampu membedakannya dengan catatan sunah, dan tidak ada kekhawatiran meninggalkan Al-Qur’an, para ulama sepakat bolehnya penulisan dan pengkodifikasian sunnah.
Pada masa Ali ra, timbul perpecahan di kalangan umat Islam akibat konflik politik antara pendukung ‘Ali dan Mu’awiyah. Umat Islam terpecah menjadi tiga golongan:
·      Khawarij, golongan pemberontak yang tidak setuju dengan perdamaian dua kelimpok yang bertikai.
·      Syi’ah sangat fanatik dan mengkultuskan ‘Ali
·      Jumhur umat Islam yang tidak termasuk golongan pertama dan kedua diatas. Diantara mereka ada yang mendukung pemerintahan ‘Ali,ada yang mendukung pemerintahan Mu’awiyah, dan ada pula yang netral tidak mau melibatkan diri dalam kancah konflik.
Akibat perpecahan ini mereka tidak segan-segan membuat Hadis palsu (mawdhu’) untuk mengklaim bahwa dirinya yang paling benar diantara golongan atau partai-partai diatas untuk mencari dukungan dari umat Islam. Pada masa inilah awal terjadinya Hadis mawdhu’ dalam sejarah yang merupakan dampak konflik politik secara internal yang kemudian diboncengi faktor-faktor lain dalam perkembangan berikutnya yang nanti akan dibahas pada bab Hadis mawdhu’. Ulama di kalangan sahabat tidak tinggal diam dalam menghadapi pemalsuan hadis ini. Mereka berusaha menjaga kemurnian Hadis dengan serius dan sungguh-sungguh, diantaranya mengadakan perlawatan ke berbagai daerah Islam untuk mengecek kebenaran Hadis yang telah sampai kepada mereka baik dari segi matan ataupun sanad. Hasil perlawatan itu disampaikan kepada umat Islam secara transparan.

Masa 41 akhir abad 1 H. Masa ini awal berkembangnya periwayatan dan perlawatan ke kota-kota besar untuk mencari hadits dari para sahabat dan tabi’in senior yang telah pindah ke kota-kota lain atau daerah-daerah lain setelah masa perluasan ekspansi wilayah Islam. Masa ini disebut masa rihlah ilmiyah. Setelah ekspansi Islam semakin luas, yakni sejak masa Utsman, Ali, dan sampai akhir abad pertama hijriah, para sahabat senior banyak yang hidup di berbagai negeri yang terpisah untuk mengajarkan Al-Qur’an dan hadis di berbagai wilayah yang telah dikuasai Islam. Diantara daerah yang telah dikuasai Islam adalah Syam dan Irak (17 H), Mesir (20 H), Persia (21 H), Samarkand (56 H), dan Spanyol (93 H).
Para sahabat yunior banyak yang mengadakan perjalanan jauh (rihlah ilmiyah) untuk menghimpun atau mengecek kebenaran hadis dari sesamanya atau dari sahabat yang lebih senior. Misalnya yang dilakukan Jabir bin Abdullah yang pernah melakukan rihlah ke Syam dalam waktu satu bulan dengan menjual seekor unta untuk ongkos perjalanan hanya ingin mendapatkan satu hadits yang belum pernah ia dengar.
Dari Abdullah bin Unays tentang Hadis
يخشر الناس عراة عزلا بهما    رواه البخارى احمد االطبرانى البيحاقى   
“ Manusia digiring pada hari kiamat telanjang tidak berpakaian, berwarna hitam” (HR Bukhari, Ahmad, at-Thabrani, al-bayhaqi)
Demikian juga Abu Ayyub al-Anshari yang tinggal di Madinah pergi ke Mesir untuk menemui ‘Uqbah bin Amir al-Juhari untuk menanyakan sebuah hadis yang belum pernah ia dengar, yaitu sabda Nabi:
من ستر مؤمنا فى الدنيا على كربته سترالله يوم القيامة   رواه البيحا قى
“ Barang siapa yang menutupi kesukaran-kesukaran orang mukmin di dunia, maka Allah akan menutupinya pada hari kiamat” (HR Al-Bayhaqi)
Ada 6 orang diantara sahabat yang banyak meriwyatkan hadits ialah:
1.      Abu Hurairah sebanyak 5.374 buah hadis dan ia mengambilnya lebih dari 300 orang diantara sahabat.
2.      Abdullah bin Umar bin Al-Khathab sebanyak 2.635 buah hadis
3.      Anas bin Malik sebanyak 2.286 buah hadis
4.      ‘Aisyah Ummi Al-Mukminin sebanyak 2.210 buah hadis
5.      Abdullah bin Abbas sebanyak 1.660 buah hadis
6.      Jabir bin Abdullah sebanyak 1.540 buah hadis

Para sahabat yang terkenal banyak meriwayatkan hadis ada beberapa alasan, diantaranya lebih dahulu bersahabat dengan Nabi seperti Abdullah bin Mas’ud, atau karena banyak berkhidmah dengan beliau seperti Anas bin Malik, atau karena banyak menyaksikan internal dalam rumah tangga beliau seoerti ‘Aisyah, dan atau karena ketekunannya dalam hadis seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amr, dan Abu Hurairah.
Di antara kota-kota yang menjadi pusat kegiatan periwayatan hadis ialah sebagai berikut:
1.      Madinah
Diantara tokoh hadis dari kalangan sahabat yang tinggal di Madinah adalah Abu Bakar, Umar, Ali (sebelum pindah ke Kufah),Abu Hurairah, Aisyah, Ibn Umar, Abu Said Al-Khudri, dan Zaid bin Tsabit. Diantara tabi’in yang belajar kepada mereka adalah: Sa’id, Urwah, Al-Zuhri, Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud, Salim bin Abdullah bin Umar, Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar, Nafi’, Abi Bakar bin Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam, dan Abu Al-Zinad.
2.      Makkah
Diantara tokoh hadis dari kalangan sahabat yang tinggal di Makkah adalah Mu’adz bin Jabal dan Ibn Abbas. Sedangkan para Tabi’in yang belajar kepada mereka adalah: Mujahid, ‘Ikrimah, ‘Atha’ bin Abi Rabah, dan Abu Al-Zubair Muhammad bin Muslim.
3.      Kufah
Diantara pemimpin besar hadits di Kufah adalah ‘Abdullah bin Mas’ud yang belajar dari padanya antara lain Masruq,Ubaydah,Al-Aswad,Syuraih,Ibrahim,Said bin Jubair, Amir bin Syurahil, dan Al-Sya’bi.
4.      Bashrah
Di antara tokoh hadis di kota ini dari kalangan sahabat adalah Anas bin Malik, ‘Utbah, ‘Imran bin Hushain, Abu Barzah, Ma’qil bin Yasar, Abu Bakrah, ‘Abdurrahman bin Samurah, dan lain-lain. Sedangkan tabi’in yang belajar kepada mereka antara lain: Abu al-Aliyah, Rafi’ bin Mihram, Al-Hasan al-Bishri, Muhammad bin Sirin, Abu Sya’tsa, Jabir bin Zayd, Qatadah, Mutharraf bin Abdullah bin Syikhkhir, dan Abu Burdah bin Abu Musa.

5.      Syam
Di Antara sahabat yang mengembangkan hadits di Syam adalah Mu’adz bin jabal, ‘Ubadah bin al-Shamit, dan Abu al-Darda. Sedang dikalangan tabi’in adalah Abu idris al-Khawlani, Qabishah bin Dzua’ib, Makhul, dan Raja’ bin Haywah.
6.      Mesir
Di antara para sahabat di Mesir adalah Abdullah bin ‘Amr, ‘Uqbah bin ‘Amir Kharijah bin Hudzaifah, Abdullah bin Sa’ad, Mahmiyah bin Juz, Abdullah bin Harits, dan lain-lain kurang lebih ada 40 orang sahabat sedang di kalangan tabi’in antara lain Abu al-Khayr Martsad al-Yazini dan Yazid bin Abi Habib.
2.2 Kodifikasi
Hadis merupakan sumber hukum utama sesudah Al-Quran. Keberadaan Hadis merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Quran. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni Al-Quran. Sedangkan Hadis, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran Al-Quran itu sendiri.
Kendati demikian, keberadaan Hadis dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan Al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah SAW. maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan Al-Quran telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah.
Yang dimaksud dengan kodifikasi hadis atau tadwin hadis pada periode ini adalah kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kepala Negara, dengan melibatkan beberapa sahabat yang ahli di bidangnya. Tidak seperti kodifikasi yang dilakukan secara perseorangan atau untuk kepentingan pribadi, sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah SAW.
Usaha ini di mulai ketika pemerintahan Islam di pimpin oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz (khalifah kedelapan dari kekhalifahan bani Umayah), melalui instruksinya kepada pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari para penghafalnya. Ia menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad ibn Amar ibn Hazm (Gubernur Madinah), seperti dibawah ini:
 “Perhatikan atau periksalah hadis hadis Rasulullah SAW kemudian tuliskanlah! Aku khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ulama (para ahlinya). Dan janganlah kamu terima , kecuali hadis Rasulullah SAW… “
Sementara itu, perhatian terhadap Hadis tidaklah demikian. Upaya kodifikasi Hadis secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah SAW.
Ø  Kodifikasi Hadis Secara Resmi
Kodifikasi hadis secara resmi dipelopori Khalifah Umar bin Abdul Aziz (khalifah kedelapan pada masa Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 H. Dia menginstruksikan kepada para Gubernur di semua wilayah Islam untuk menghimpun dan menulis hadis-hadis Nabi. Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar ibn Hazm agar mengumpulkan hadis hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman Al Anshari (murid kepercayaan Siti Aisyah) dan Al Qasim bin Muhammad bin Abi   Bakar. Instruksi yang sama ia juga berikan kepada Muhammad bin Syihab Az Zuhri yang dinilainya sebagai seorang yang lebih banyak mengetahui hadis daripada yang lainnya.
Semboyan al-Zuhri yang terkenal al isnaadu minad diin, lau lal isnadu la qaala man syaa-a maa syaa-a (artinya : Sanad itu bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad maka berkatalah siapa saja tentang apa saja).
Menurut para ulama, hadis hadis yang dihimpun oleh Abu Bakar ibn Hazm masih kurang lengkap, sedangkana hadis hadis yang dihimpun ibn Syihab Az Zuhri lebih lengkap, akan tetapi, sayang sekali  karena karya kedua tabiin ini lenyap sehinggga tidak sampai kepada generasi sekarang.
Ø  Motif Umar bin Abdul Aziz
1.       Kekhawatiran akan hilang Hadis dari perbendaharaan masyarakat, sebab belum dibukukan.
2.       Untuk membersihkan dan memelihara Hadis dari Hadis-hadis maudhu' (palsu) yang dibuat orang-orang untuk mempertahankan ideologi golongan dan mazhab.
3.       Tidak adanya kekhawatiran lagi akan tercampurnya Al-Qur’an dan hadis,  keduanya sudah bisa dibedakan. Al-Qur’an telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata diseluruh umat Islam.
4.       Ada kekhawatiran akan hilangnya hadis karena banyak ulama Hadis yang gugur dalam medan perang.
2.2.1        Pembukuan Hadis abad II, III, IV H         
Ø Kodifikasi Hadis Pada abad kedua.
Setelah agama Islam tersiar dengan luas di masyarakat, dipeluk dan dianut oleh penduduk yang bertempat tinggal di luar jazirah arab, dan para sahabat mulai terpencar di beberapa wilayah bahkan tidak sedikit jumlahnya yang telah meninggal dunia, maka terasalah perlunya Al-Hadits diabadikan dalam bentuk tulisan dan kemudian dibukukan dalam dewan hadits.
 Urgensia ini menggerakkan hati khalifah ‘Umar bin 'Abdul Aziz (seorang khalifah bani Umayyah yang menjabat khaliafah antara tahun 99 sampai tahun 101 hijriah) untuk manulis dan membukukan (mendewankan) Hadis. Dan pada masa ini dikenal dengan ashru al-Tadwin ( masa pembukuan ).
 Menurut Fatchur Rahman motif utama khalifah ‘Umar bin ‘Abdul Aziz berinisiatif untuk mendewankan Hadis adalah :
a.       Kemauan beliau yang kuat untuk tidak membiarkan Hadis seperti waktu yang sudah-sudah. Karena beliau khawatir hilang dan lenyapnya Hadis dari perbendaharaan masyarakat, disebabkan belum didewankannya dalam dewan hadis.
b.       Kemauan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara Hadis dari hadis-hadis maudlu’ yang dibuat oleh orang-orang untuk mempertahankan ideologi golongannya dan mempertahankan mazhabnya, yang sejak tersiar sejak awal berdirinya kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib r.a.
c.        Alasan tidak terdewannya Hadis secara resmi di zaman Rasulullah SAW. Dan Khulafaur Rasyidin, karena adanya kekhawatiran bercampur aduknya dengan Al-Quran, telah hilang, disebabkan Al-Quran telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata di seluruh pelosok. Ia telah di hafal di otak dan diresapkan di hati sanubari beribu-ribu orang.
d.       Kalau di zaman Khulafaur Rasyidin belum pernah dibayangkan dan terjadi peperangan antara orang muslim dengan orang kafir, demikian juga perang saudara orang-orang muslim, yang kian hari kian menjadi-jadi, yang sekaligus berakibat berkurangnya jumlah ulama ahli hadits, maka saat itu juga konfrontasi tersebut benar-benar terjadi.
Untuk menghilangkan kekhawatiran akan hilangnya Hadits dan memelihara Hadits dari bercampuranya dengan hadits-hadits palsu, ‘Umar bin Abdul Aziz mengintruksikan pada seluruh pejabat dan ‘ulama yang memegang kekuasaan di wilayah keuasaannya untuk mengumpulkan Al-Hadits. Intruksi itu berbunyi:
أنظروا إلى حد يث رسول الله صلى الله عليه وسلم فاجمعوا
“Telitilah hadits Rasulullah SAW. kemudian kumpulkan !”
Beliau menginstruksikan kepada walikota madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (117 H.), untuk mengumpulkan hadits yang ada padanya dan pada tabi’iy wanita, ‘Amrah binti abdu al-Rahman.
 أكتب إلي بما ثبت عند ك من حد يث رسول الله صلى الله عليه وسلم بحد يث عمرة فإني خشيت دروس العلم وذهاب

“Tulislah hadits untukku, hadits Rasulullah saw. Yang ada padamu dan hadits ‘Amrah (binti Abdul Rahman). Sebab aku takut hilangnya dan punahnya ilmu.” (riwayat Ad-Darimi).
Atas instruksi itu, Ibnu Hazm mengumpulkan hadits-hadits, baik yang ada pada dirinya sendiri maupun pada ‘Amrah, tabi’i wanita yang banyak meriwayatkan hadist Aisyah r.a. Juga beliau mengintruksikan kepada Ibnu Syihab Az-Zuhri seorang Imam dan Ulama besar di Hijaz dan Syam (124 H). Beliau mengumpulkan hadist-hadist dan kemudian ditulisnya dalam lembaran-lembaran dan dikirimkan kepada masin-masing penguasa di tiap-tiap wilayah satu lembar. Itulah sebabnya para ahli tarikh dan ulama menganggap bahwa Ibnu Syihablah orang yang mula-mula mendewankan hadist secara resmi atas perintah Umar bin Abdul Aziz.
Setelah periode Abu Bakar bin Hazm dan Ibnu Syihab berlalu, muncullah periode pendewanan hadist yang ke dua yang disponsori oleh khalifah-khalifah bani Abbasiyah. Bangunlah ulam-ulama hadist dalam periode ini:
·         Abu Muhammad Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij (wafat 150 H) sebagai pendewan hadist di Mekah,
·         Maumar bin Rasyid (wafat 153 H) sebagai pendewan di Yaman,
·         Abu Amar Abdul Rahman Al-Auza’i (wafat 156 H) sebagai pendewan hadist di Syam,
·         Muhammad bin Ishaq (wafat 151 H) sebagai pendewan hadist di Madinah,
·         Imam Malik bin Anas (179 H) sebagai pendewan hadist di Madinah,
·         Sa’id bin Abi Urubah (wafat tahun 151) sebagai pendewan hadist di Bashrah,
·         Rabi’ bin Subaih (wafat tahun 160) sebagai pendewan hadist di Bashrah,
·         Hammad bin Abi Salamah (wafat 176 H) sebagai pendewan hadist di Bashrah.
·         Abu Abdullah Sufyan As-Tsauri (wafat 161 H) sebagai pendewan hadist di Kufah,
·         Abdullah bin Mubarak (wafat tahun 181 H) sebagai pendewan di Khurasãn,
·         Husyaim bin Basyir (wafat tahun 188 H) sebagai pendewan di Wasit,
·         Jarir bin Abdul Hamid (wafat tahun 188 H) sebagai pendewan di Raih,
·         Al-Lais bin Sa’ad (wafat tahun 175 H) sebagai pendewan di Mesir.
 Kitab hadis yang ada, masih bercampur aduk antara hadis-hadis Rasulullah dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabi'in, belum dipisahkan antara hadis-hadis yang marfu', mauquf dan maqthu, dan antara hadis yang shahih, hasan dan dla'if.
Kitab Hadis yang masyhur :
·         Al-Muwaththa - Imam Malik pada 144 H - atas anjuran khalifah al-Mansur. Jumlah hadis yang terkandung dalam kitab ini kurang lebih1.720 hadis.
·         Musnad al-Syafi'i - mencantumkan seluruh hadis dala kitab "al-Umm".
·         Mukhtalif al-Hadits - karya Imam Syafi'i - menjelaskan cara-cara menerima hadits sebagai hujjah, menjelaskan cara-cara mengkompromikan hadits-hadits yang kontradiksi satu sama lain.
Ø  Kodifikasi Hadis Pada abad ketiga
Dipermulaan abad ke III para ahli hadist berusaha menyisihkan Hadis dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in. Mereaka berusaha membukukan hadis Rasulullah semata-mata secara murni. Untuk tujuan yang mulia ini mereka mulai menyusun kitab-kitab musnad yang bersih dari fatwa-fatwa. Bangunlah ulama-ulama ahli hadist seperti: Musa Al-Abbasi, Musyaddad Al-Basri, As’ad bin Musa dan Nuaim bin Muhammad Al-Ghazai menyusun kitab-kitab musnad. Kemudian menyusul pula Imam Ahmad bin Hambal. Kendatipun kitab-kitab hadist permulaan abad ke III ini sudah menyisihkan fatwa-fatwa namun masih mempunyai kelemahan yakni tidak atau belum menyisihkan hadist-hadist dhaif, termasuk juga hadits maudlu’ yang diselundupkan oleh golongan-golongan yang bermaksud hendak menodai agama islam.
 Karena adanya beberapa kelemahan kitab-kitab hadits tersebut, bergeraklah ulama-ulama hadits pertengahan abad ketiga untuk menyelamatkannya. Mereka membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk menentukan suatu hadits itu apakah shahih atau dha’if. Para rawi hadits tidak luput menjadi sasaran penelitian mereka, untuk diselidiki kejujurannya, kehafalannya.
Pada pertengahan abad ini, mulai muncul kitab-kitab hadits yang hanya memuat hadits-hadits shahih, pada perkembangannya dikenal dengan “kutubu al-sittah” yaitu:
1.      Shahih al-Bukhari atau Jami’u al-Shahih. Karya Muhammad bin Ismail al-Bukhari (194-256 H.)
2.      Shahih al-Muslim, karya al-Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy (204-261 H.)
3.      Sunan Abu Dawud , karangan Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishaq al-Sajastani (202-275 H.)
4.      Sunan al-Tirmidzi, karangan Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah al-Tirmidzi (200-279 H.)
5.      Sunan al-Nasa’i, karangan Abu Abdu al-Rahman bin Suaid ibnu Bahr al-Nasa’iy (215-302 H.)
6.      Sunan Ibnu Majah, karangan Abu Abdillah ibnu Yazid ibnu Majah (207-273 H.)
Pada abad ke-3, yang berperan adalah generasi setelah tabi’in.
Telah diusahakan untuk memisahkan hadis yang shahih dari Al-Hadits yang tidak shahih sehingga tersusun 3 macam kitab hadis, yaitu :
1.      Kitab Shahih - (Shahih Bukhari, Shahih Muslim)
2.      Kitab Sunan - (Ibnu Majah, Abu Dawud, Al-Tirmizi, Al-Nasai,  Al-Darimi) - berisi hadis shahih dan hadis dha'if yang tidak munkar.
3.      Kitab Musnad - (Abu Ya'la, Al Humaidi, Ali Madaini, Al Bazar, Baqi bin Mukhlad, Ibnu Rahawaih) - berisi berbagai macam hadis tanpa penelitian dan penyaringan dan hanya digunakan para ahli hadis untuk bahan perbandingan.
Ø  Kodifikasi Hadis pada Abad Keempat
Kalau pada abad pertama, kedua, dan ketiga, Hadis berturut-turut mengalami periwayatan, penulisan (pendewanan) dan penyaringan dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in dan Hadis yang telah didewankan oleh Ulama Mutaqaddimin (ulama abad kesatu sampai ketiga) tersebut mengalami sasaran baru, yakni dihafal dan diselidiki sanadnya oleh Ulama Mutaakhirin (Ulama abad keempat dan seterusnya).
Mereka berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya hadits-hadits yang telah terdewan itu, sehingga tidak mustahil sebagian dari mereka sanggup menghafal sampai beratus-ratus ribu hadits. Sejak pereode inilah timbul bermacam-macam gelar keahlian dalam ilmu hadits, seperti gelar keahlian Al-Hakim, Al-Hafidh .
Abad keempat ini merupakan abad pemisah antara Ulama Mutaqaddimin, yang dalam menyusun hadits mereka berusaha sendiri menemui para sahabat atau para tabi’in penghafal hadits dan kemudian menelitinya sendiri, dengan Ulama Muta-akhkhirin yang dalam usahanya dalam menyusun kitab-kitab hadits, mereka hanya menukil dari kitab-kitab yang telah disusun oleh Ulama Mutaqaddimin.
Tetapi dalam abad IV ini masih terdapat Ulama-ulama hadits yang mempunyai kesanggupan dan kemampuan untuk menghimpun hadits atas usaha sendiri, tidak mengutip dari kitab-kitab hadits yang sudah ada sebelumnya, meskipun jumlahnya tidak banyak, di antaranya adalah:
1.   AL-HAKIM. Beliau banyak karangannya, antara lain: Al-Mustadrak ‘Ala al-Shahihain.
2.   AD-DARUQUTNI (wafat tahun 385 H). Beliau banyak karangannya antara lain: al-Ilzamat.
3.   IBNU HIBBAN (wafat tahun 354 H). Beliau banyak karangannya antara lain: al-Musnad al-Shahih atau al-Anwa’ wa al-Taqasim.

2.2.2        Pembukuan Hadis abad V H hingga sekarang
Usaha ulama ahli hadits pada abad V dan seterusnya adalah di tujukan untuk mengklasifikasikan Hadits dengan menghimpun hadits-hadits yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam suatu kitab hadits. Disamping itu mereka pada men-syarah-kan (menguraikan dengan luas) dan meng-ikhtishar-kan (meringkas) kitab-kitab hadits yang telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya. Juga pada abad V ini dikenal dengan Ashru al-Jami’ wa al-Tartib ( masa menghimpun dan menertibkan susunanya)
·         Metode Pembukuan Hadits
Metode pembukuan hadits pada awal mulanya masih bercampur antara hadits Nabi dengan perkataan para sahabat dan fatwa tabi’in. Dan di antra kitab-kitab yang muncul pada masa itu adalah:
1.      Al-Muwaththa’ yang ditulis oleh Imam Malik,
2.      Al-Mushannaf oleh Abdul Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani,
3.      As-Sunnah ditulis oleh Abd bin Mansur,
4.      Al-Mushannaf dihimpun oleh Abu Bakar bin Syaibah, dan
5.      Al-Musnad Asy-Syafi’i.
Kitab-kitab hadits di atas ini tidak sampai kepada kita kecuali Al-Muwaththa’ yang ditulis oleh Imam Malik dan Al-Musnad Asy-Syafi’i yang ditulis oleh Imam Asy-Syafi’i.
Dalam beberapa masa penulisan dan pembukuan hadits, ada beberapa macam kitab hadits yang dikemukakan oleh ulama hadits.
1.      Al-Ajza’/ Al-Juz, adalah kitab hadits yang menghimpun hadits pada satu topik masalah saja. Misalnya kitab al-faraid, oleh Zaid bin Tsabit (11-12 H/611/655 M). Metode ini termasuk paling awal digunakan dalam mengelompokkan hadits.
2.      Al-Atraf adalah kitab yang menghimpun hadits hanya pada awal matannya saja, tanpa menyebutkan matan hadits seutuhnya. Misalnya kitab Atraf As-Sunnah, oleh Ibnu Asakir al-Dimasyqi (w. 571 H)
3.       Al-Mustadrak, adalah kitab hadits yang menghimpun tertentu yang memenuhi syarat hadits yang ditulis oleh imam terdahulu, tetapi belum dicantumkan dalam kitabnya, misalnya kitab al-mustadrak ‘ala as-shahihain, oleh Al-Hakim al-Naisaburi.
4.      Al-Mustakhraj, adalah kitab yang menghimpun hadits yang diambil dari salah satu kitab hadits dengan menggunkan sanad yang berbeda dengan sanad hadits yang dirujuknya. Misalnya kitab Al-Mustakhraj, oleh Muhammad bin Ya’qub al-Saibani al-Naisaburi
5.      Al-Jami’ adalah kitab yang menghimpun 8 pokok masalah (akidah, hukum, tafsir, etika makan dan minum, tarikh, sejarah kehidupan Nabi, akhlaq, serta perbuatan baik dan tercela). Misalnya: Al-Jami’ al-Musnad as-Sahih al-Mukhtashar min Umurirrosulillah SAW Waayyamihi.
6.      Al-Musnad adalah hadits yang penyusunannya didasarkan atas urutan nama sahabat yang meriwaytkan hadits. Misalnya Al-Musnad Ibnu Hambal
7.      Al-Mu’jam adalah kitab hadits yang merupakan kamus besar yang di dalamnya memuat hadits berdasrkan nama sahabat, quru atau qabilah, atau menurut tempat hadits didapatkan yang diurutkan secara al-fabetis. Misalnya kitab Al-Mu;jam al-Kabir, Al-Mu’jam al-Wasit, Al-Mu’jam al-Shaghir oleh Imam at-Tabrani
8.      As-sunan adalah kitab hadits yang disusun berdasarkan bab-bab fiqih yang di dalamnya bercampur hadits-hadits shahih, hasan, dan do’if, dengan memberi penjelasan pada hadits itu. Misalnya kitab Sunan at-Tirmdzi, Sunan Abi Daud, Sunan Nas’i dan lain-lain.

Selain beberapa metode pembukuan di atas, dengan bahasa yang berbeda para muhadditsin berusaha menghimpun dan menyusun kitab-kitab hadits menggunakan beberapa bentuk seperti: takhrij, tashnif dan ikhtishar.
1.      Takhrij
Istilah takhrij yang menurut lazimnya dalam penggunaan fi’il madlinya memakai kata akhraja, mempunyai tiga pengertian yakni:
·               suatu usaha mencari sanad hadits yang terdapat dalam sebuah kitab hadits karya orang lain menyimpang dari sanad hadits yang terdapat dalam kitab hadits karya orang lain tersebut. Umpamanya seseorang mengambil sebuah hadits dari kitab shahih bukhari, kemudian ia berusaha mencari sanad hadits tersebut yang tidak sama dengan sanad yang telah ditetapkan oleh bukhari dalam shahihnya. Namun sanad yang berbeda itu akhirnya dapat bertemu dengan sanad bukhari yang akhir. Usaha mukharrij (orang yang mentakhrijkan) tersebut akhirnya dihimpun dalam sebuah kitab, dan kitaab yang demikian inilah yang disebut kitab mustakhraj. Misalnya:
Ø  Mustakhraj Abu Nu’aim, karya Abu Nu’aim, adalah salah satu kitab takhrij hadits shahih bukhari.
Ø  Takhrij Ahmad bin Hamdan, adalah salah satu kitab mustakhraj shahih muslim.

·         Suatu penjelasan dari penyusun hadits bahwa hadits yang dinukilnya terdapat dalam kitab hadits yang telah disebut nama penyusunnya, misalnya kalau penyusun hadits mengakhiri pada nukilan haditsnya dengan istilah akhrajahu al-bukhari, artinya ialah bahwa hadits yang dinukil oleh penyusun terdapat di dalam kitab shahih bukhari.
·         Suatu usaha menyusun hadits untuk mencari derajat, sanad dan rawi hadits yang diterangkan oleh pengarang suatu kitab. Misalnya:
Ø  Takhrij Ahadisi Al-Kasysyaf, karya Jamaluddin al-Hanafi, adalah suatu kitab yang mengusahakan dan mrnerangkan derajat hadits yang terdapat dalam kitab tafsir Al-Kasysyaf, yang oleh pengarang tefsir tersebut tidak dijelaskan tentang shahih, hasan atau lain sebagainya.
Ø  Al-Mughni ‘An Hamli Al-Asfar, karya Abdu al-Rahim al-Iraqi, adalah kitab yang menjelaskan derajat-derajat hadits yang terdapat dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, karya Imam Ghazali.

2.      Tashnif
Tashnif, ialah usaha menghimpun atau menyusun beberapa hadits (kitab hadits) dengan membubuhi keterangan mengenai kalimat yang sulit-sulit dan memberikan interpretasi sekadarnya. Kalau dalam memberikan interpretasi itu dengan jalan mempertalikan dan menjelaskan dengan hadits lain, dengan ayat-ayat al-Quran atau dengan ilmu-ilmu yang lain, maka usaha semacam ini disebut men-syarah-kan, misalnya:
·      Shahihu Al-Bukhari Bi Syarhi Al-Kirmani, oleh Muhammad ibn Yusuf al-Kirmani, merupakan salah satu syarah kitab bukhari.
·      Al-Ikmal, oleh Al-Qadli ‘Iyadl, adalah salah satu di antara sekian banyak kitab syarah shahih muslim.
3.      Ikhtishar
Ikhtishar, adalah suatu usaha untuk meringkaskan kitab-kitab hadits. Yang diperingkas, biasanya, ialah sanadnya dan hadits-hadits yang telah berulang-ulang disebutkan oleh pengarangnya semula, tidak perlu ditulis kembali. Di antara mukhtashar-mukhtshar shahih bukhari ialah kitab:
·         Mukhtashar Al-Bukhari karya Abu al-Abbas al-Qurthubi, dan
·         Mukhtashar Abu Jamrah, karya Ibnu Abi Jamrah.

Dan di antara mukhtashar shahih bukhari muslim ialah:
·         Mukhtashar Al-Balisy, karya Najmuddin al-Balisy, dan
·         Mukhtashar Al-Taukhi, karya Najmuddin al-Taukhi.
Perbedaan antara kitab mustakhraj dengan kitab mukhtashar ialah, bahwa kitab mustakhraj itu tidak perlu adanya penyesuaian lafadh dengan kutab yang ditakhrijkan, bahkan kadang-kadang ditemui adanya perbedaan lafadh dan kadang-kadang juga terdapat perubahan yang sangat menonjol sehingga mengakibatkan perbedaan arti. Sedangkan di dalam kitab mukhtashar tidak boleh ada tambahan (lafadh dari penyusun sendiri) yang sebenarnya tidak ada dalam kitab yang diikhtisharkan.
Kebanyakan para muhaditsin dalm menyusun kitab haditsnya memakai dua sistem:
Pertama: sistem bab—demi—bab.
Di dalam sistem ini penyusun berusaha menghimpun hadits-hadits yang sejenis isinya dalam satu bab, kemudian hadits yang berisikan masalah-masalah sejenis yang lain, dikumpulkan dalam bab yang lain pula.
Adalah lebih praktis lagi kalau penusun memberikan ciri-ciri pda susunannya hadits tersebut tersebut dalam satu lapangan tertentu dari cabang ilmu agama, seperti kitab:
·            Bulughu al-Maram, karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani
·            Umdatu al-Ahkam, karya Abdu al-Ghani al-Maqdisi, adalah dua buah kitab yang mengandung hukum-hukum.
·            Riyadlu al-Shalihin, karya Imam al-Nawawi, adalah kumpulan kitab hasits targhib dan tarhib (anjuran berbuat baik dan pencelaan berbuat noda). Kendatipun dalam kitab ini juga dicantumkan juga hadits-hadits mengenai hukum, namun dalam pembahasannya bertendensi targhib dan tarhib.
·            Tuhfatu al-Dzakirin, karya Al-Syaukani adalah merupakan hadits doa yang cukup luas isinya.

Kedua: sistem musnad
 Di dalam sistem ini penyusun mengatur secara sistematis (tertib) mulai dari nama-nama sahabata yang lebih utama beserta seluruh haditsnya, kemudian disusul dengan deretan nama-nama sahabat yang utama beserta haditsnya, dan akhirnya deretan nama-nama sahabat yang lebih rendah derajatanya beserta hadits-haditsnya. Misalnya dalam kitab tersebut dikemukakan oleh penyusun pada bab pertama, nama sahabat Abu Bakar r.a. dengan menyebut seluruh haditsnya, kemudian disusul dengan nama ‘Umar r.a. dengan mencantumkan hadits yang beliau riwayatkan, dan seterusnya nama-nama sahabat yang lebih rendah daripada Abu Bakar dan ‘Umar r.a. dengan seluruh haditsnya.
Dapat pula dimasukkan dalam sistem ini ialah jika penyusun mendahulukan hadits-hadits dari qabilah yang lebih tinggi martabatnya kemudian hadits-hadits dari qabilah-qabilah yang lebih rendah derajatnya daripada yang pertama. Umpamanyan hadits-hadits dari qabilah Bani Hasyim dicantumkan lebih dahulu, kemudian disusul dengan hadits-hadits dari qabilah yang bernasab dekat kepada nabi muhammad saw. Dan akhirnya hadits-hadits dari qabilah yang bernasab jauh kepada beliau. 
Al-Syawkani dalam mukaddimah kitab Nayl al-Authar mejelaskan, bahwa kitab-kitab Hadis yang sah dijadikan hujjah adalah:
·         Shahih al-bukhari dan Shahih Muslim
Hadis-hadis yang tertulis dalam kedua kitab shahih al-Bukhari dan shahih Muslim dapat dijadikan hujjah tanpa melihat sanad, hanya diperlukan meninjau maksud Hadis yakni tinjauan dirayah.
·         Hadis-Hadis shahih dalam selain al-Bukhari dan Muslim
Hadis-Hadis yang terdapat dalam kitab0kitab selain shahih al-Bukhari dan Muslim, asal telah dinilai shahih oleh salah seorang imam Hadis yang terpandang dan tidak dicacat oleh ulama imam Hadis lain.
·         Kitab-kitab Hadis shahih
Hadis-Hadis yang terdapat di dalam kitab-kitab Hadis yang menurut penyusunannya tidak memasukkan selain Hadis shahih saja. Seperti shahih Ibn Khuzaimah dan lain-lain. Hal ini, jika tidak didapati keteranan cacat dan kecuali shahih al-Hakim yang bernama al-Mustadrak karena ia menulisnya pada saat berusia lanjut yang sudah tidak sempat mengoreksi lagi.
·         Kitab-kitab sunan
Hadis-Hadis yang terdapat dalam kitab sunan yang diakui keshahihannya atau kehasanannya oleh pengarang kitab sunan tersebut dapat diterima.

Adapun Hadis-Hadis yang terdapat dalam kitab-kitab sunan atau musnad yang tidak diterangkan kualitasnya, hendaknya bagi orang yang ada kemampuan memeriksa atau meneliti, periksalah terlebih dahulu keshahihannya atau kehasanannya. Jika tidak ada kemampuan untuk meneliti, hendaknya mengikuti penelitian para ahli yang telah mengadakan penelitian dan jika tidak didapatkan hendaknya dihentikan.





BAB III
PENUTUP

3.1     Kesimpulan
Membicarakan sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis bertujuan unuk mengangkat fakta dan peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW kemudian secara periodik  pada masa masa sahabat dan tabi’in serta masa masa berikutnya .
Usaha mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis ini diharapkan dapat menggambarkan sikap dan tindakan umat Islam. Khususnya para ulama ahli hadis terhadap hadis serta usaha pembinaan dan pemeliharaan mereka pada tiap tiap periodenya hingga terwujudnya kitab kitab hasil tadwin secara sempurna. Karena perjalanan hadis pada tiap tiap periodenya mengalami berbagai persoalan dan hambatan yang tidak sama,maka dalam pengungkapan sejarah perjalanannya perlu dikemukakan ciri ciri khusus.
Di antara para ulama terdapat perbedaan dalam menyusun periodesasi pertumbuhan dan perkembangan hadis ini. Ada yang membaginya dalam tiga periode saja, yaitu masa Rasulullah SAW, sahabat dan tabi’in , masa pen-tadwin-an dan masa setelah tadwin. Namun, ada yang membaginya dalam periodesasi lain atau yang lebih terperinci, yaitu lima hingga tujuh periode dengan spesifikasi yang lebih jelas.
Yang perlu diuraikan secara khusus pada bahasan ini ialah masa Rasulullah SAW, masa sahabat masa tabi’in , masa pen-tadwin­-an atau pembukuan dan masa seleksi atau penyaringan hadis serta masa sesudahnya.
Apabila membicarakan hadis pada masa Rasulullah SAW berarti membicarakan hadis pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan berkaitan langsung dengan pribadi Rasulullah SAW sebagai narasumber hadis. Rasulullah SAW telah membina umatnya selama 23tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu sekaligus di-wurud-kannya hadis. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati hatian para sahabat sebagai ahli waris pertama ajaran Islam.
Wahyu yang diturunkannya Allah SWT kepada Rasulullah SAW dijelaskannya melalui perkataan (aqwal), perbuatan (af’al) dan taqrir nya, sehingga apa yang didengar, dilihat dan disaksikan oleh para sahabat dapat dijadikan pedoman bagi amaliah dan ubudiyah mereka. Pada masa ini Rasulullah SAW merupakan contoh satu satunya bagi para sahabat,karena ia memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku utusan Allah SWT yang berbeda dengan manusia lainnya.
Periode kedua sejarah perkembangan hadis adalah masa sahabat, khususnya Khulafa Ar Rasidin yaitu sekitar tahun 11 Hsampai dengan 40H. Masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar. Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al Quran, periwayatan hadis belum begitu berkembang dan masih dibatasi. Oleh karena itu, para ulama menganggap masalah ini sebagai masa yang menunjukan adanya pembatasan periwayatan (At-Tasabbut wa Al-Iqlal min Ar-Riwayah).
Pada dasarnya periwayatan  yang dilakukan oleh kalangan tabi’in tidak begitu berbeda dengan yang dilakukan para sahabat. Hal ini karena mereka, mengikuti jejak para sahabat yang menjadi guruguru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda yang dihadapi para sahabat.  Pada masa ini Al-Quran sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Di pihak lain,  para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan Islam, sehingga para tab’in dapat mempelajari hadis dari mereka.
Ketika pemerintahan di pegang oleh Bani Umayah, wilayah kekuasaan Islam telah meliputi Mesir, Persia, Irak, Afrika Selatan,Samarkand dan spanyol, di samping Madinah , Mekah, Basrah, Syam dan Khurasan. Pesatnya perluasan wilayah Islam, dan meningkatnya penyebaran para sahabat ke daerah daerah tersebut menjadikan masa ini dikenal dengan masa penyebaran periwayatan hadis (Intisyar Ar Riwayah Ila Al Amshar). 
Yang dimaksud dengan kodifikasi hadis atau tadwin hadis pada periode ini adalah kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kepala Negara, dengan melibatkan beberapa sahabat yang ahli di bidangnya. Tidak seperti kodifikasi yang dilakukan secara perseorangan atau untuk kepentingan pribadi, sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah SAW.
Usaha ini di mulai ketika pemerintahan Islam di pimpin oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz (khalifah kedelapan dari kekhalifahan bani Umayah), melalui instruksinya kepada pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari para penghafalnya. Ia menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad ibn Amar ibn Hazm (Gubernur Madinah), seperti dibawah ini:
“Perhatikan atau periksalah hadis hadis Rasulullah SAW kemudian tuliskanlah! Aku khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ulama (para ahlinya). Dan janganlah kamu terima , kecuali hadis Rasulullah SAW… “
Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar ibn Hazm agar mengumpulkan hadis hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman Al Anshari (murid kepercayaan Siti Aisyah) dan Al Qasim bin Muhammad bin Abi   Bakar. Instruksi yang sama ia juga berikan kepada Muhammad bin Syihab Az Zuhri yang dinilainya sebagai seorang yang lebih banyak mengetahui hadis daripada yang lainnya.
Menurut para ulama, hadis hadis yang dihimpun oleh Abu Bakar ibn Hazm masih kurang lengkap, sedangkana hadis hadis yang dihimpun ibn Syihab Az Zuhri lebih lengkap, akan tetapi, sayang sekali  karena karya kedua tabiin ini lenyap sehinggga tidak sampai kepada generasi sekarang.                                                               
3.2. Saran
Dengan selesainya pembuatan makalah ini kami berharap dapat memahami secara mendalam tentang Sejarah Hadis (Pertumbuhan dan Perkembangannya) . Tentunya pembuatan makalah ini diharapkan bemanfaat untuk orang lain atau setidaknya untuk diri sendiri. Kritik dan saran sangat diperlukan sekali dalam kesempurnaan makalah ini, sebab tanpa adanya kritik dan saran maka kami tidak akan mengetahui kesalahan dan kekurangan makalah ini. kami berharap ada kritik dan saran yang dapat kami terima.











DAFTAR PUSTAKA
As-Suyuti, Asbab Wurud Al-Hadis
Masyuk Zuhdi, 1985. Pengantar Ilmu Hadis, Surabaya: Bina Ilmu
Mudasir, Drs.H, 2010. Ilmu Hadis, Bandung: Pustaka Setia
DVD Hadis & Ilmu Hadis, DR. Ahmad Lutfi Fathullah, MA
http://rachmatfatahillah.blogspot.com/2011/06/kodifikasi-hadits-abad-ii-iii-iv-vdan.html
http://basyir-accendio.blogspot.com/2012/04/sejarah-pertumbuhan-penulisan-dan.html


0 komentar: