Makalah Psikologi Pembelajaran Matematika

Minggu, 31 Maret 2013



MAKALAH
BELAJAR DAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Diajukan sebagai salah satu tugas terstruktur mata kuliah Belajar dan Pembelajaran Matematika
Dosen Pengampu : Widodo Winarso, M.Pdi
Kelas : Matematika C





Disusun Oleh :
Budi Darmawan          14121520512
Musyfiah                      14121520519
Risna Nilam Lutfia      14121530632
Siti Rita Anita              14121510622



FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI
CIREBON
2013


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “PSIKOLOGI PEMBELAJARAN MATEMATIKA”
Makalah ini berisikan tentang informasi pengertian belajar, teori belajar, dan aliran yang menyertainya.
Diharapkan  makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang pokok baasan psikologi pembelajaran matematika.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Cirebon, 12 Januari 2013
Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR                                                                                      i
DAFTAR ISI                                                                                                    ii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang                                                                                1
Rumusan Masalah                                                                            2
Tujuan Penulisan                                                                              2
Manfaat                                                                                           2
BAB II PEMBAHASAN
Pengertian Psikologi                                                                        3
Definisi Belajar                                                                                3
Pentingnya Belajar                                                                           3
Teori Pokok Belajar                                                                         6
Teori Belajar Menurut Para Ahli                                                      12
Implementasi Psikologi Pembelajaran Matematika                         28
BAB III PENUTUP
Kesimpulan                                                                                      32
Saran                                                                                                35
DAFTAR PUSTAKA                                                                                       36
 




BAB I
PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang
Belajar adalah proses untuk memperoleh sesuatu pengalaman atau pengetahuan yang baru yang dilakukan oleh manusia untuk mengembangkan dan memajukan kehidupannya. Proses berpindahnya informasi atau pengetahuan dari satu orang ke orang yang lain sering disebut dengan proses belajar mengajar.
Sebelum psikologi memasuki lapangan pendidikan, banyak orang beranggapan bahwa penguasaan mengenai bahan pelajaran yang akan diberikan kepada peserta didik merupakan satu-satuya syarat yang harus dipenuhi bagi guru.
Pendapat yang demikian seakan-akan mengemukakan anak sebagai benda-benda mati yang dapat diperlukan menurut kehendak guru. Akan tetapi dengan terjadinya perkembangan yang luas dalam lapangan ilmu pengetahuan psikologi, anggapan itu mulai mengalami perubahan. Perubahan itu mulai timbul pada abad ke-19 dimana orang menyadari bahwa pengetahuan secara mendalam mengenai mata pelajaran yang diberikan belum cukup untuk menjadi guru yang baik, disamping itu dibutuhkan pula pengetahuan pelengkap untuk penjadi guru yang profesional, salah satunya adalah psikologi.
Pengetahuan yang bersifat psikologis mengenai peserta didik akan menjadikan guru mengetahui hakikat gejala-gejala kejiwaan, perkembangan, dan bakat peserta didik. Serta dapat menambah hasil guna dan tepat guna, karena dapat menciptakan keserasian antara pengajar dan peserta didik.
Guru matematika yang mempelajari bagian ini akan sangat berguna dalam meningkatkan kemampuan dirinya sebagai guru matematika yang profesional dan kompeten, salah satu ciri pembelajaran matematika masa kini adalah penyajiannya didasarkan pada suatu teori psikologi belajar yang saat ini masih dikembangkan oleh ahli pendidikan.

2.    Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan :
1.      Apa pengertian teori belajar ?
2.      Bagaimana bunyi teori belajar menurut Van Hiele ?
3.      Bagaimana bunyi teori belajar menurut Freud ?
4.      Bagaimana bunyi teori belajar menurut Confrey ?
5.      Bagaimana bunyi teori belajar menurut Cobb ?
6.      Bagaimana bunyi teori belajar menurut Treffers ?
7.      Bagaimana bunyi teori belajar menurut Polya ?
8.      Bagaimana bunyi teori belajar menurut Zahorik ?
9.      Bagaimana implementasi teori belajar yang dikemukakan oleh para ahli diatas dalam pembelajaran matematika ?

3.    Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah, sebagai berikut :
1.      Mengetahui pengertian teori belajar
2.      Mengetahui teori belajar menurut Van Hiele
3.      Mengetahui teori belajar menurut Freud
4.      Mengetahui teori belajar menurut Confrey
5.      Mengetahui teori belajar menurut Cobb
6.      Mengetahui teori belajar menurut Treffers
7.      Mengetahui teori belajar menurut Polya
8.      Mengetahui teori belajar menurut Zahorik
9.      Mengetahui implementasi teori belajar dalam pembelajaran matematika

4.    Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah agar kami sebagai mahasiswa dapat mengetahui apa itu teori belajar dan bagaimana implementasinya dalam pembelajaran matematika. Serta merupakan tugas terstruktur dan salah satu penilaian dalam mata kuliah Belajar dan Pembelajaran.

BAB II
PEMBAHASAN

PSIKOLOGI PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Secara umum psikologi adalah ilmu yang mempelajari gejala kejiwaan seseorang yang sangat penting adanya dalam proses pendidikan. Psikologi pendidikan merupakan alat dalam mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan, karena prinsip yang terkandung dalam psikologi pendidikan dapat dijadikan landasan berfikir dan bertindak dalm mengelola proses belajar-mengajar, yang merupakan unsur utama dalam pelaksanaan setiap sistem pendidikan.
Dalam menerapkan prinsip psikologis tersebut diperlukan adanya figur guru yang kompeten, dan guru yang kompeten adalah guru yang mampu melaksanakan profesinya secara bertanggung jawab yang mampu mengelola proses belajar-mengajar sebaik mungkin sesuai dengan prinsip-prinsip psikologi.

·                Definisi belajar
Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis pembelajaran dan jenjang pendidikan. Ini berarti, bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu amat tergantung pada proses belajar yang dialami peserta didik baik ketika ia berada di sekolah maupun di lingkungan rumah atau keluarganya sendiri. Oleh karena itu, pemahaman yang benar mengenai arti belajar dengan segala aspek, bentuk, dan manifestasinya mutlak diperlukan oleh para pendidik. Kekeliruan atau ketidak lengkapan persepsi mereka terhadap proses belajr-mengajar akan menyebabkan hasil belajar yang tidak optimal bagi peserta didik.

·                Peran Penting Belajar
Proses belajar-mengajar yang baik akan mengoptimalkan hasil belajar dan mengembalikan arti belajar yang sesungguhnya. Belajar adalah key term “istilah kunci” yang paling vital dalam setiap usaha pendidikan, sehingga tanpa belajar sesungguhnya tak akan pernah ada pendidikan. Sebagai suatu proses, belajar hampir selalu mendapat tempat yang luas dalam berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan upaya kependidikan, misalnya psikologi pendidikan dan psikologi belajar. Karena demikian pentingnya arti belajar, maka bagian terbesar upaya riset dan eksperimen psikologi belajar pun diarahkan pada tercapainya pemahaman yang lebih luas dan mendalam mengenai proses perubahan manusia itu (Muhibbin,2003:59).
Perubahan dan kemampuan untuk berubah merupakan batasan dan makna yag terkandung dalam belajar. Disebabkan oleh kemampuan untuk berubah, manusia dapat belajar sehingga dapat berkebang lebih jauh daripada makhluk-makhluk lainnya, yang akan berimplikasi terbesasnya manusia dari kemadegan fungsinya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi ini. Boleh jadi, karena kemampuan berkembang melalui belajar itu pula manusia secara bebas dapat mengeksplorasi, memilih, dan menetapkan keputusan-keputusan penting dalam kehidupannya (Muhibbin,2003:59).
Banyak sekali bentuk perkembangan yang terdapat dalam diri manusia yang terkandung dalam belajar sebagai contoh yaitu perkembangan kecakapan berbicara. Menurut fitrahnya, setiap manusia yang normal memiliki potensi untuk cakap berbicara, namun kecakapan berbicara ini tidak akan terwujud dengan baik tanpa adanya upaya belajar yang optimal (Muhibbin,2003:60).
Belajar juga memiliki peran penting dalam mempertahankan kehidupan sekelompok umat manusia (bangsa) di tengah persaingan yang semakin erat di antara bagsa-bangsa lainnya yang terlebih dahulu maju karena belajar. Akibat persaingan tersebut, kenyataan tragis bisa pula terjadi karena belajar. Contoh, tidak sedikit orang pintar yang menggunakan kepintarannya untuk membuat orang lain terpuruk atau bahkan menghancurkan kehidupan orang tersebut.
Kenyataan tragis lainnya lebih parah pula terkadang muncul akibat hasil belajar, Hasil belajar ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi, sebagai contoh yaitu tak jarang ilmu teknologi ini digunakan untuk membuat senjata yang akan memusnahkan sesama umat manusia. Alhasil, belajar disamping membawa manfaat terkadang juga membawa madarat.
Meskipun terdapat dampak negatif dari hasil belajar dari sekelompok manusia tertentu, kegiatan belajar tetap memiliki arti penting. Alasannya, seperti yang telah dikemukakan di atas, belajar berfungsi sebagai ala mempertahankan kehidupan manusia. Artinya, dengan ilmu pengetahuan dan teknologi hasil belajar kelompok manusia yang tertindas sekali pun dapat digunakan untuk membangun benteng pertahanan (Muhibbin,2003:62).
Selanjutnya, dalam perspektif agama Islam pun belajar dinilai sebagai hal penting yang memiliki kedudukan sebagai kewajiban bagi setiap orang beriman agar memperoleh ilmu pengetahuan yang akan mengangkat derajat kehiduan mereka. Kewajiban ini difirmankan Allah dalam Al-Quran surat Mujadalah ayat 11, yang artinya :
“ . . . niscaya Allah akan meninggikan beberapa derajat kepada orang-orang yang beriman dan berilmu.”
            Ilmu dalam hal ini tentu saja bukan hanya pengetahuan agama tetapi juga berupa pengetahuan yang berjalan seriring kemajuan zaman. Selain itu, ilmu tersebut juga harus bermanfaat bagi dirinya serta orang-orang di sekitarnya.
            Berdasakan pertimbangan diatas, guru yang profesional haruslah melihat hasil belajar siswa dari berbagai sudut kinerja psikologis yang utuh dan menyeluruh. Sehubungan dengan ini, seorang peserta didik yang menempuh proses belajar idelanya ditandai oleh munculnya pengalaman-pengalaman positif psikologis baru yang positif. Pengalaman-pengalaman tersebut diharapkan dapat mengembangkan aneka ragam sikap, sifat, dan kecakapan yang konstruktif, bukan kecakapan yang destruktif.
Matematika adalah satu bagian dari ilmu pengetahuan pokok yang diajarkan di sekolah, dan dipandang sebagai pelajaran yang sulit bahakan tidak sedikit peserta didik yang menggapnya menakutkan, memerlukan figur guru yang kompeten.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa salah satu ciri pembelajaran matematika masa kini adalah penyajiannya didasarkan pada suatu teori psikologi belajar yang saat ini masih dikembangkan oleh ahli pendidikan. Kemampuan memahami teori-teori belajar ini merupakan salah satu kompetensi pedagogik guru, sehingga guru mampu mengembangkan pembelajaran yang memuat tiga macam aktivitas, yaitu eksplorasi, klarifikasi, dan refleksi.

·                Teori-Teori Pokok Belajar
Secara pragmatis, teori belajar dapat dipahami sebagai prinsip umum atau kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atau sejumah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar (Muhibbin,2003:92)
Teori belajar atau teori perkembangan mental menurut Ruseffendi (1988) adalah berisi uraian tentang apa yang terjadi dan apa yang diharapkan terjadi terhadap mental peserta didik. Sementara itu, pengertian tentang belajar itu sendiri berbeda-beda menurut teori belajar yang dianut seseorang. Menurut pandangan modern menganggap bahwa belajar merupakan kegiatan mental seseorang sehingga terjadi perubahan tingkah laku. Perubahan tersebut dapat dilihat ketika siswa memperlihatkan tingkah laku baru, yang berbeda dari tingkah laku sebelumnya. Selain itu, perubahan tingkah laku tersebut dapat dilihat ketika seseorang memberi respons yang baru pada situasi yang baru (Gledler, 1986). Hudoyo (1998) menyatakan bahwa belajar adalah kegiatan yang berlangsung dalam mental seseorang, sehingga terjadi perubahan tingkah laku, di mana perubahan tingkah laku tersebut bergantung kepada pengalaman seseorang.
Diantara sekian banyak teori belajar, dalam perkembangannya ini terdapat empatmacam arus besar teori belajar, yaitu :
a.    Aliran Behaviorisme
b.    Aliran Kognitif
c.    Aliran Humanistis
d.   Aliran Kontruktivisme
Empataliran ini memiliki pijakan berpikir yang sangat jelas perbedaannya. Aliran behaviorisme memandang belajar sebagai perubahan tingkah laku, sehingga belajar merupakan rangkaian aktivitas mengelola stimulus untuk mendapatkan respon yang diinginkan, sedangkan aliran kognitif memandang belajar sebagai perubahan struktur kognitif, aliran humanistis memandang belajar sebagai penyusunan dan penyajian materi pelajaran yang harus sesuai dengan perasaan dan perhatian siswa, serta aliran kontruktivisme yang memandang bahwaproses pembelajaran adalah bagaimana pengetahuan disusun dalam pemikiran pelajar.
Cara pandang tentang proses belajar tentunya akan mempengaruhi bagiamana cara guru mengajar. Dari tiga aliran teori belajar tersebut lahirlah pendekatan belajar, model pembelajaran, strategi pengajaran, hingga metodenya. Begitu pentingnya pengetahuan tentang teori belajar ini bagi guru, sehingga guru mampu merancang pembelajarannya sesuai dengan materi yang hendak dikembangkan, level pengetahuan siswa, dan teori belajar yang dirujuk.
Ketiga aliran psikologi di atas mengalami perkembangan secara beruntun dari priode satu ke priode selanjutnya, dalam masing-masing priode perkembangan aliran psikologi bermuculan berbagai teori belajar, yaitu :
a.    Teori belajar psikologi behavioristik (tingkah laku)
Teori belajar psikologi behavioristik ini detemukan oleh para psikolog behavioristik. Mereka sering disebut “contemporary behaviorists” atau disebut juga “S-R psychologists”. Mereka berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan (reinforcement) dari lingkungan. Dengan demikian, dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioral dengan stimulasinya (Dalyono,2005:30)
Guru-guru yang menganut pandangan ini berpendapat bahwa tingkah laku peserta didiknya merupakan reaksi-reaksi terhadap lingkungan mereka pada masa lalu dan masa sekarang, serta bahwa segenap tingkah laku merupakan hasil belajar. Kita dapat menganalisis kejadian tingkah laku dengan jalan mempelajari latar belakang penguatan (reinforcement) terhadap tingkah laku tersebut.
Penganut psikologi ini juga beranggapan bahwa belajar sebagai hasil dari pembentukan hubungan antara rangsangan dari luar (stimulus) dan tanggapan dari dalam diri peserta didik (response) yang diamati. Semakin sering hubungan antara rangsangan dan tanggapan terjadi maka semakin kuat hubungan keduanya (law of exercise). Di samping itu, menuruut mereka kuat tidaknya hubungan ditentukan oleh kepuasan atau ketidakpuasan yang menyertainya (law of effect). Oleh sebab itu, dua kata kunci penganut teori ini adalah ‘latihan’ dan ‘ganjaran’ atau ‘penguatan’. Teori yang dikemukakan oleh peganut aliran behaviorisme ini sangat cocok digunakan untuk mengembangkan pengetahuan siswa yang beruhungan dengan pencapaian hasil belajar (pengetahuan) matematika seperti fakta, konsep, prinsip, skill atau keterampilan yang telah digagas oleh Robhet M Gagne sebagai objek langsung matematika (Fadjar Shadiq,2008:4)
Ahli belajar (learning theoris) Gagne telah membagi objek belajar matematika menjadi dua bagian, yaitu objek langsung dan objek tidak langsung. Objek langsungnya adalah fakta, konsep, prinsip dan keterampilan. Sedangkan objek tidak langsungnya adalah berfikir logis, memecahkan masalah, sikap positif terhadap matematika, ketekunan, ketelitian, dan sebagainya.
Psikologi aliran behavioristik mulai berkembang sejak lahirnya teori-teoti tentang belajar, yang dipelopori oleh Thorndike, Pavlov, Watson, dan Guthrie. Mereka masing-masing telah mengadakan penelitian yang menghasilkan berbagai penemuan berharga dalam luang lingkup belajar. Objek tidak langsung ini adalah objek yan akan dipelajari oleh peserta didik secara tidak langsung ketika mereka mempelajari objek langsung matematika itu sendiri.

b.    Teori belajar psikologi kognitif
Teori belajar psikologi kognitif ini memandang bahwa tingkah laku seseorang tidak hanya dikontrol oleh “reward” dan “reinfocement”. Mereka yang beranggapan seperti ini adalah para ahli jiwa atau psikolog aliran kognitif, menurut pendapat mereka tingkah laku seseorang senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku ini terjadi. Dalam situasi belajar, seseorang terlibat langsung dengan situasi itu dan memperoleh “insight” untuk pemecahan masalah. Jadi kaum kognitif berpandangan bahwa, tingkah laku seseorang lebih bergantung kepada insight terhadapp hubungan-hubungan yang ada di dalam satu situasi. Keseluruhan adalah lebih kepada bagian-bagiannya. Mereka memberi memberi tekanan pada organisasi pengamatan atas stimulus di dalam lingkungan serta pada faktor-faktor yang mempengaruhi pengamatan.
Psikologi kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori Gestalt. Peletak dasar psikologi ini adalah Mex Wertheimer yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving. Sumbangannya ini diikuti oleh Kurt Koffka yang menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan, kemudian Wolfag Kohler yang meneliti tentang insight pada simpanse. Penelitian-penelitian mereka menumbuhkan psikologi kognitif Gestalt yang menekankan bahasan pada masalah konfigurasi, struktur, dan pemetaan dalam pengamatan. Kaum Gestaltis berpendapat bahwa pengalaman itu berstruktur yang terbentuk dalam keseluruhan yang terorganisasi, bukan dalam bagian-bagian terpisah.
Suatu konsep penting dalam teori ini adalah “insight”, yaitu pengamatan atau pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian-bagian di dalam suatu situasi permasalahan. Insight itu sering dihubungkan dengan pernyataan spontan seperti “aha” atau “oh”.
Menurut pandangan teori Gestalt ini, semua kegiatan belajar menggunakan insight atau pemahaman terhadap hubungan-hubungan, terutama hubungan antara bagian dan keseluruhan. Mereka menganggap tingkat kejelasan atau keberartian dari apa yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih meningkatkan belajar seseorang daripada dengan hukuman dan ganjaran.

c.    Teori belajar psikologi humanistik
Teori belajar psikologi yang ketiga dan sangat bertolak belakang dengan dua aliran sebelumnya. Aliran humanistik sering kali disebut sebagai kekuatan ketiga (third force) dalam bidag psikologi.
Berbeda dengan dua aliran sebelumnya, psikologi humanistik meyakini bahwa manusia mempunyai sifat dasar yang baik. Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk terus berkembang, mengarahkan diri, kreatif, dan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Jelasnya, menurut aliran ini manusia mempunyai kemampuan untuk menentukan arah hidupnya sendiri dengan penuh kesadaran dan kebebasan.
Perhatian psikologi humanistik yang terutama tertuju pada masalah bagaimana tiap-tiap individu dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan kepada pengalama-pengalaman mereka sendiri. Menurut para pendidik aliran humanistik ini, penyusunan dan penyajian materi pelajaran harus sesuai dengan perasaan dan perhatian peserta didik.
Tujuan utama para pendidik ialah membantu peserta didik untuk mengembangkan dirinya, dengan membantu masing-masing individu mengenal di mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantunya dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada pada diri mereka.
Pada akhir tahun 1940 muncullah suatu perspektif psikologi baru. Orang-orang terlibat dalam penerapan psikologilah yang berjasa dalam perkembangan teori ini, misalnya ahli-ahli psikologi klinik, pekerja-pekerja sosial dan konselor, serta bukan hasil penelitian dalam bidaang proses belajar. Gerakan ini berkembang dan kemudian dikenal sebagai psikologi humanistis, eksestransial, perseptual, atau fenomenologikal. Psikologi ini berusaha memahami perilau seseorang dari sudut si pelaku (behaver) bukan dari pengamat (observer).
Dalam dunia pendidikan psikologi humanistik ini muncul sekitar tahun 1960 sampai 1970-an dan mungkin perubahan-perubahan serta inovasi yang terjadi selama dua dekade yang terakhir pada abad ke-20 ini pun juga akan menuju pada arah ini.
Aliran humanistik ini diperkenalkan Abraham Harold Maslov, Rogers, Form, Comb, Gordon Alport, dan Kelly.

d.   Teori belajar psikologi kontruktivisme
Pandangan konstruktivistik tentang pembentukan pengetahuan adalah subjek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksi dengan lingkungannya. Melalui bantuan struktur-struktur kognitif ini, subjek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subjek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi.
Konsep belajar konstruktivis didasarkan kepada kerja akademik para ahli psikologi dan peneliti yang peduli dengan konstruktivisme. Para ahli konstruktivisme bahwa ketika para siswa mencoba menyelesaikan tugas-tugas di kelas, maka pengetahuan dikonstruksi secara aktif. Para ahli konstuktivis yang lain mengatakan bahwa dari perspektifnya konstruktivis, belajar matematika bukanlah suatu proses “pengepakan” pengetahuan melainkan mengorganisir aktivitas , dimana kegiatan ini di interpretasikan secara luas termasuk aktivitas dan berfikir konseptual. Menurut Cobb dalam Suherman (2001:71) bahwa belajar matematika merupakan proses dimana siswa secara aktif mengkonstruksi pengetahuan matematika.
Pendekatan konstruktivisme merupakan proses pembelajaran yang menerangkan bagaimana pengetahuan disusun dalam pemikiran peserta didik. Pengetahuan dikembangkan secara aktif oleh pelajar itu sendiri dan tidak diterima secara pasif dari orang disekitarnya. Hal ini bermakna bahwa pembelajaran merupakan hasil dari usaha peserta didik itu sendiri dan bukan hanya ditransfer dari pendidik kepada peserta didik. Hal tersebut berarti peserta didik tidak lagi berpegang pada konsep pengajaran dan pembelajaran yang  lama, dimana pendidik hanya menuangkan atau mentransfer ilmu kepada peserta didik tanpa adanya usaha terlebih dahulu dari peserta didik itu sendiri.
Menurut pandangan ahli konstruktivisme, setiap peserta didik mempunyai  peranan dalam menentukan apa yang dipelajari. Penekanan diberikan kepada peserta didik agar dapat membentuk kemahiran dan pengetahuan yaitu dengan mengaitkan pengalaman yang terdahulu dengan kegunaannya di masa depan. Peserta didik tidak hanya diberikan penekanan terhadap fakta atau konsep tetapi juga diberikan penekanan terhadap proses berpikir serta kemahiran berkomunikasi.
Di dalam kelas konstruktivis, para peserta didikdiberdayakan oleh pengetahuan yang berada dalam diri mereka. Mereka berbagi strategi dan penyelesaian, debat antara satu dengan lainnya, berpikir secara kritis tentang cara terbaik menyelesaikan setiap masalah. Dalam kelas konstruktivis seorang pendidik tidak mengajarkan kepada peserta didiknya bagaimana menyelesaikan persoalan, namun mempresentasikan masalah dan mendorong (encourage) peserta didik untuk menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan permasalahan. Pada saat peserta didik memberikan jawaban, pendidik mencoba untuk tidak mengatakan bahwa jawabannya benar atau tidak benar. Namun pendidik mendorong peserta didiknya untuk setuju atau tidak setuju kepada ide seseorang dan saling tukar menukar ide sampai persetujuan dicapai tentang apa yang dapat masuk akal peserta didik itu sendiri (Suherman, 2003).

·                Teori Belajar Menurut Para Ahli Psikologi
Seperti yang telah pemakalah bahas sebelumnyabelajar adalah salah satu kewajiban setiap individu, dalam belajar itu sendiri terdapat berbagai macam teori belajar yang dapat membantu memudahkan proses belajar-mengajar yang terjadi di dalam bidang pendidikan. Di bawah ini adalah ahli psikologi dengan teori belajar psikologinya yang berperan penting dalam kemajuan dan perkembangan ilmu psikologi dalam bidang pendidikan :
1.    Teori belajar Van Hiele
Dua tokoh pendidikan matematika dari Belanda, yaitu Pierre Van Hiele dan isterinya, Dian Van Hiele-Geldof, pada tahun-tahun 1957 sampai 1959 mengajukan suatu teori mengenai proses perkembangan yang dilalui peserta didik dalam mempelajari geometri. Tahapan berpikir atau tingkat kognitif yang dilalui peserta didik dalam pembelajaran geometri, menurut Van Hiele adalah sebagai berikut:
a.    Level 0 (Tingkat Visualisasi)
Tingkat ini disebut juga tingkat pengenalan. Pada tingkat ini, peserta didik memandang sesuatu bangun geometri sebagai suatu keseluruhan (wholistic). Pada tingkat ini peserta didik belum memperhatikan komponen-komponen dari masing-masing bangun. Dengan demikian, meskipun pada tingkat ini peserta didik sudah mengenal nama sesuatu bangun, peserta didik belum mengamati ciri-ciri dari bangun itu. Sebagai contoh, pada tingkat ini peserta didikmengetahui suatu bangun bernama persegipanjang, tetapi ia belum menyadari ciri-ciri bangun persegipanjang tersebut.
b.    Level 1 (Tingkat Analisis)
Tingkat ini dikenal sebagai tingkat deskriptif. Pada tingkat ini peserta didik sudah mengenal bangun-bangun geometri berdasarkan ciri-ciri dari masing-masing bangun. Dengan kata lain, pada tingkat ini peserta didik sudah terbiasa menganalisis bagian-bagian yang ada pada suatu bangun dan mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut
c.    Level 2 (Tingkat Abstraksi)
Tingkat ini disebut juga tingkat pengurutan atau tingkat relasional. Pada tingkat ini, peserta didik sudah bisa memahami hubungan antar ciri yang satu dengan ciri yang lain pada sesuatu bangun. Sebagai contoh, pada tingkat ini peserta didik sudah bisa mengatakan bahwa jika pada suatu segiempat sisi-sisi yang berhadapan sejajar, maka sisi-sisi yang berhadapan itu sama panjang. Di samping itu pada tingkat ini peserta sudahmemahami perlunya definisi untuk tiap-tiap bangun. Pada tahap ini, peserta didik juga sudah bisa memahami hubungan antara bangun yang satu dengan bangun yang lain. Misalnya pada tingkat ini peserta didik sudah bisa memahami bahwa setiap persegi adalah juga persegipanjang, karena persegi juga memiliki ciri-ciri persegipanjang.
d.   Level 3 (Tingkat Deduksi Formal)
Pada tingkat ini peserta didik sudah memahami perenan pengertian-pengertian pangkal, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan terorema-teorema dalam geometri. Pada tingkat ini peserta didik sudah mulai mampu menyusun bukti-bukti secara formal. Ini berarti bahwa pada tingkat ini peserta didik sudah memahami proses berpikir yang bersifat deduktif-aksiomatis dan mampu menggunakan proses berpikir tersebut.

e.    Level 4 (Tingkat Rigor)
Tingkat ini disebut juga tingkat metamatematis. Pada tingkat ini, peserta didik mampu melakukan penalaran secara formal tentang sistem-sistem matematika (termasuk sistem-sistem geometri), tanpa membutuhkan model-model yang konkret sebagai acuan. Pada tingkat ini, peserta didik memahami bahwa dimungkinkan adanya lebih dari satu geometri.
Sebagai contoh, pada tingkat ini peserta didik menyadari bahwa jika salah satu aksioma pada suatu sistem geometri diubah, maka seluruh geometri tersebut juga akan berubah. Sehingga, pada tahap ini peserta didik sudah memahami adanya geometri-geometri yang lain di samping geometri Euclides.

Menurut Van Hiele, semua peserta didik mempelajari geometri dengan melalui tahap-tahap tersebut, dengan urutan yang sama, dan tidak dimungkinkan adanya tingkat yang diloncati. Akan tetapi, kapan seseorang speserta didik mulai memasuki suatu tingkat yang baru tidak selalu sama antara peserta didik yang satu dengan peserta didik yang lain.
Selain itu, menurut Van Hiele proses perkembangan dari tahap yang satu ke tahap berikutnya terutama tidak ditentukan oleh umur atau kematangan biologis, tetapi lebih bergantung pada pengajaran dari pendidik dan proses belajar yang dilalui peserta didik.
Menurut Van Hiele ada tiga unsur dalam pengajaran matematika yaitu waktu, materi pengajaran, dan metode pengajaran. Jika ketiganya ditata secara terpadu maka akan terjadi peningkatan kemampuan berfikir peserta didik kepada tingkatan berfikir lebih tinggi.



2.    Teori Belajar Freudenthal
Hans Freudenthal adalah seorang ahli psikologi yang memperkenalkan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) atau disebut juga Realistic Mathematics Education (RME) merupakan teori pembelajaran matematika yang mengatakan bahwa matematika merupakan proses insani dan harus dikaitkan dengan realitas. Freudenthal berpendapat bahwa peserta didik tidak dapat dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah jadi. Pendidikan matematika harus diarahkan pada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan yang memungkinkan peserta didik menemukan kembali (reinvention) matematika berdasarkan usaha mereka sendiri. Pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik juga memberikan peluang pada siswa untuk aktif mengkonstruksi pengetahuan matematika. Dalam menyelesaikan suatu masalah yang dimulai dari masalah-masalah yang dapat dibayangkan oleh peserta didik, peserta didik diberi kebebasan menemukan strategi sendiri, dan secara perlahan-lahan pendidik membimbing peserta didiknya menyelesaikan masalah tersebut secara matematis formal melalui matematisasi horisontal dan vertikal (Supinah dan Agus D.W, 2009: 70).
Dalam matematisasi horisontal, peserta didik mulai dari soal-soal kontekstual, mencoba menguraikan dengan bahasa dan simbol yang dibuat sendiri, kemudian menyelesaikan soal tersebut. Dalam proses ini, setiap peserta didik dapat menggunakan cara mereka sendiri yang mungkin berbeda dengan peserta didik yang lain. Dalam matematisasi vertikal, peserta didik juga mulai dari soal-soal kontekstual, tetapi dalam jangka panjang mereka dapat menyusun prosedur tertentu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan soal-soal sejenis secara langsung, tanpa bantuan konteks. Hal tersebut dinyatakan oleh (Supinah dan Agus D.W 2009: 71)

·      Prinsip Pembelajaran Matematika Realistik
Untuk dapat melaksanakan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) harus mengetahui beberapa prinsip yang digunakan PMR. Pembelajaran Matematika Realistik menggunakan prinsip-prinsip RME. Ada tiga prinsip RME menurut Gravemeijer (Supinah dan Agus D.W 2009: 72-74) yaitu Guided reinvention, Didactical Phenomenology, dan Self Developed Models.
a.    Guided Reinvention atau Menemukan Kembali Secara Seimbang
Memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk melakukan matematisasi dengan masalah kontekstual yang realistik bagi mereka dengan bantuan dari pendidik. Peserta didik didorong atau ditantang untuk aktif bekerja bahkan diharapkan dapat mengkonstruksi atau membangun sendiri pengetahuan yang akan diperolehnya. Pembelajaran tidak dimulai dari sifat-sifat atau definisi atau teorema dan selanjutnya diikuti contoh-contoh, tetapi dimulai dengan masalah kontekstual atau real/nyata yang selanjutnya melalui aktivitas siswa diharapkan dapat ditemukan sifat, definisi, teorema, ataupun aturan oleh peserta didik itu sendiri.
b.    Didactical Phenomenology atau Penomena Didaktik
Topik-topik matematika disajikan atas dasar aplikasinya dan kontribusinya bagi perkembangan matematika. Pembelajaran matematika yang cenderung berorientasi kepada memberi informasi atau memberitahu peserta didik dan memakai matematika yang sudah siap pakai untuk memecahkan masalah, diubah dengan menjadikan masalah sebagai sarana utama untuk mengawali pembelajaran sehingga memungkinkan peserta didik dengan caranya sendiri mencoba memecahkannya. Dalam memecahkan masalah tersebut, peserta didik diharapkan dapat melangkah ke arah matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal. Pencapaian matematisasi horisontal ini, sangat mungkin dilakukan melalui langkah-langkah informal sebelum sampai kepada matematika yang lebih formal. Dalam hal ini, peserta didik diharapkan dalam memecahkan masalah dapat melangkah ke arah pemikiran matematika sehingga akan mereka temukan atau mereka bangun sendiri sifat-sifat atau definisi bahkan teorema matematika tertentu (matematisasi horisontal), kemudian ditingkatkan aspek matematisasinya (matematisasi vertikal). Kaitannya dengan matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal ini, De Lange menyebutkan proses matematisasi horisontal antara lain meliputi proses atau langkah-langkah informal yang dilakukan peserta didik dalam menyelesaikan suatu masalah (soal), membuat model, membuat skema, menemukan hubungan, dan lain-lain, sedangkan matematisasi vertikal, antara lain meliputi proses menyatakan suatu hubungan dengan suatu formula (rumus), membuktikan keteraturan, membuat berbagai model, merumuskan konsep baru, melakukan generalisasi, dan sebagainya. Proses matematisasi horisontal-vertikal inilah yang diharapkan dapat memberi kemungkinan peserta didik lebih mudah memahami matematika yang berobyek abstrak. Dengan masalah kontekstual yang diberikan pada awal pembelajaran seperti tersebut di atas, dimungkinkan banyak/beraneka ragam cara yang digunakan atau ditemukan oleh peserta didik itu sendiri dalam menyelesaikan masalah. Dengan demikian, peserta didik mulai dibiasakan untuk bebas berpikir dan berani berpendapat, karena cara yang digunakanpeserta didik satu dengan yang lain berbeda atau bahkan berbeda dengan pemikiran pendidik tetapi cara itu benar dan hasilnya juga benar. Dengan memperhatikan fenomena didaktik yang ada di dalam kelas, maka akan terbentuk proses pembelajaran matematika yang tidak lagi berorientasi pada pendidik, tetapi diubah atau beralih kepada pembelajaran matematika yang berorientasi pada peserta didik atau bahkan berorientasi pada masalah.
c.    Self Developed Models atau Model di Bangun Sendiri oleh Siswa
Pada waktu peserta didik mengerjakan masalah kontekstual, siswa mengembangkan suatu model. Model ini diharapkan dibangun sendiri oleh peserta didik, baik dalam proses matematisasi horisontal ataupun vertikal. Kebebasan yang diberikan kepada peserta didik untuk memecahkan masalah secara mandiri atau kelompok, dengan sendirinya akan memungkinkan munculnya berbagai model pemecahan masalah buatan siswa.

·      Karakteristik Pembelajaran Matematika Realistik
Beberapa karakteristik pembelajaran matematika realistik menurut Gravemeijer (Tarigan,2006:6) adalah sebagai berikut:
a.    Penggunaan konteks
Yaitu proses pembelajaran diawali dengan keterlibatan peserta didik dalam pemecahan masalah kontekstual.



b.    Instrumen vertikal
Yaitu konsep atau ide matematika direkonstruksikan oleh peserta didik melalui model-model instrumen vertikal, yang bergerak dari prosedur informal ke bentuk formal.
c.    Konstribusi Peserta Didik
Yaitu peserta didik aktif mengkonstruksi sendiri bahan matematika berdasarkan fasilitas dengan lingkungan belajar yang disediakan pendidik, secara aktif menyelesaikan soal dengan cara masing-masing.
d.   Kegiatan interaktif
Yaitu kegiatan belajar bersifat interaktif, yang memungkinkan terjadi negosiasi antar peserta didik.
e.    Keterkaitan topik
Yaitu pembelajaran suatu bahan matematikaterkait dengan berbagai topik matematika.

·      Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik
Secara umum langkah-langkah pembelajaran matematika realistik dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.    Persiapan
Selain menyiapkan masalah kontekstual, pendidik harus benar-benar memahami masalah dan memiliki berbagai macam strategi yang mungkin akan ditempuh peserta didik dalam menyelesaikannya.
b.    Pembukaan
Pada bagian ini peserta didik diperkenalkan dengan strategi pembelajaran yang dipakai dan diperkenalkan kepada masalah dari dunia nyata kemudian peserta didik diminta untuk memecahkan masalah tersebut dengan cara mereka sendiri.
c.    Proses pembelajaran
Peserta didik mencoba berbagai strategi untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan pengalamannya, dapat dilakukan secara perorangan maupun secara kelompok. Setiap peserta didik atau kelompok mempresentasikan hasil kerjanya di depan peserta didik atau kelompok lain dan peserta didik atau kelompok lain memberi tanggapan terhadap hasil kerja peserta didik atau kelompok penyaji. pendidik mengamati jalannya diskusi kelas dan memberi tanggapan sambil mengarahkan peserta didik untuk mendapatkan strategi terbaik serta menemukan aturan atau prinsip yang bersifat lebih umum.
d.   Penutup
Setelah mencapai kesepakatan tentang strategi terbaik melalui diskusi kelas, peserta didik diajak menarik kesimpulan dari pelajaran saat itu. Pada akhir pembelajaran peserta didik harus mengerjakan soal evaluasi dalam bentuk matematika formal.

3.    Teori Belajar Confrey
Confrey adalah seorang ahli psikologi yang berasal dari aliran kontruktivisme yang berkontribusi dalam dunia pendidikan, menawarkan suatu powerfull construction dalam matematika. Dalam mengkonstruksi ia mengidentifikasikan sepuluh karakteristik powerfull construction berpikir peserta didik. Powerfull construction tersebut ditandai oleh:
a.    Sebuah struktur dengan ukuran kekonsistenan internal
b.    Suatu keterpaduan antar bermacam – macam konsep
c.    Suatu kekonvergenan diantara aneka bentuk dan konteks
d.   Kemampuan untuk merefleksikan dan menjelaskan
e.    Sebuah kesinambungan sejarah
f.     Terikat kepada bermacam-macam sistem simbol
g.    Suatu yang cocok dengan pendapat experts (ahli)
h.    Suatu yang potensial untuk bertindak sebagai alat untuk konstruksi lebih lanjut
i.      Sebagai petunjuk untuk tindakan selanjutnya
j.      Suatu kemampuan untuk menjustifikasi dan mempertahankan.

Semua  ciri-ciri powerfull  diatas dapat digunakan secara efektif dalam proses pembelajaran di kelas. Menurut Confrey (dalam Suherman, 2003), peserta didik yang belajar matematika sering kali hanya menetapkan suatu kriteria evaluasi mereka dari yang mereka konstruksi. Akibatnya pengetahuan matematika menjadi terisolasi dari sisa pengalaman  mereka yang dikonstruksi dari aksi mereka di dunia dalam pola yang spontan dan interaktif.  Oleh karena itu, pandangan peserta didik tentang ‘kebenaran’ ketika merekamempelajari matematika perlu mendapat pengawasan ahli dan masyarakat menjadi tidak lengkap. Dalam kasus ini peranan pendidik dan peranan peserta didik lain adalah menjustifikasi berpikirnya peserta didik dalam matematika.
Salah satu yang mendasar dalam pembelajaran matematika menurut konstruktivis adalah suatu pendekatan dengan jawaban tak terduga sebelumnya dengan suatu  ketertarikan yang cerdik dalam mempelajari karakter, keaslian, cerita dan implikasinya. Pandangan konstruktivisme dalam proses pembelajaran menghendaki adanya pergeseran dari peran pengajar sebagai otoritas ilmu menuju peran pengajar sebagai fasilitator dan mediator yang kreatif. Dengan demikian disini pendidik dituntut senantiasa bereksplorasi dalam mengelola pembelajaran, mengemas sajian materi pada buku teks sedemikian rupa sehingga menarik bagi peserta didik dan bertindak sebagai fasilitator dan mediator dalam pembelajaran yang dikelolanya. Salah satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah pendidik tidak hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada peserta didik tetapi peserta didik harus membangun pengetahuan sendiri dalam benaknya. Dalam proses ini pendidik dapat membantu dengan cara-cara mengajar sehingga informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi peserta didik, dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-idenya, mengajak peserta didik agar menyadari dan secara sadar menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. “Teori Konstruktivis memandang peserta didik terus-menerus memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dan merevisi aturan-aturan itu jika tidak sesuai lagi”.
4.    Teori BelajarCobb
Menurut Cobb (Suherman,2001:71) bahwa belajar matematika merupakan proses dimana peserta didik secara aktif mengkonstruksi pengetahuan matematika.
Para ahli konstruktivis setuju bahwa belajar matematika manipulasi aktif dari pemaknaan bukan hanya bilangan dan rumus-rumus saja. Lebih jauh lagi para ahli konstruktivis merekomendasikan untuk menyediakan lingkungan belajar dimana peserta didik dapat mencapai konsep dasar, keterampilan algoritma dan kebiasaan bekerja sama dan refleksi. Dalam kaitannya dengan belajar, Cobb  (suherman,2001:72) beserta ahli psikologi yang lain menguraikan bahwa belajar dipandang sebagai proses aktif dan konstruktif dimana peserta didik mencoba untuk menyelesaikan masalah yang muncul sebagaimana mereka berpartisipasi secara aktif dalam latihan matematika di kelas. Menurut paham konstruktivisme peranan pendidik bukan pemberi jawaban akhir atas pertanyaan-pertanyaan peserta didik, melainkan mengarahkan mereka untuk membentuk (mengkonstruksi) pengetahuan matematika sehingga diperoleh struktur matematika. Sedangkan dalam paradigma tradisional, pendidik mendominasi pembelajaran dan pendidik senantiasa menjawab dengan segera tentang pertanyaan-pertanyaan peserta didik.
Selain itu, menurut konstruktivis bahwa secara substantif, belajar matematika adalah proses pemecahan masalah. (Cobb, Thompson, dan von Glaserfeld, dalam Suherman, 2003). Konstruktivisme telah memfokuskan secara eksklusif pada proses dimana peserta didik secara individual aktif mengkonstruksi realitas matematika mereka sendiri.(Cobb et.al, dalam Suherman, 2003 )
5.    Teori Belajar Treffers
Treffers mengklasifikasikan pendidikan matematika berdasarkan horizontal dan vertikal mathematization(matematisasi) ke dalam empat tipe:
a.    Mechanistic atau ‘pendekatan traditional’.
Pendekatan ini didasarkan pada ‘drill-practice’ dan pola atau pattern, yang menganggap orang seperti komputer atau suatu mesin (mekanik). Pada pendekatannya, baik horizontal dan vertikal mathematization tidak digunakan.
b.    Empiristicatau ‘dunia adalah realitas’.
Dimana peserta didik dihadapkan dengan situasi dimana mereka harus menggunakan aktivitas horizontal mathematization. Treffers (1991) mengatakan bahwa pendekatan ini secara umum jarang digunakan dalam pendidikan matematika.
c.    Structuralist atau ‘Matematika modern’.
Pendekatan ini didasarkan pada teori himpunan dan game yang bisa dikategorikan ke horizontal mathematization tetapi di tetapkan dari dunia yang dibuat secara ‘ad hoc’, yang tidak ada kesamaan dengan dunia peserta didik.
d.   Realistic
 Yaitu pendekatan yang menggunakan suatu situasi dunia nyata atau suatu konteks sebagai titik tolak dalam belajar matematika. Pada tahap ini peserta didik melakukan aktivitas horizontal mathematization. Maksudnya siswa mengorganisasikan masalah dan mencoba mengidentfikasi aspek matematika yang ada pada masalah tersebut. Kemudian, dengan menggunakan vertical mathematization siswa tiba pada tahap pembentukan konsep.
·      Secara umum, teori RME terdiri dari lima karakteristik yaitu:
a.    Penggunaan real konteks sebagai titik tolak belajar matematika
b.    Penggunaan model yang menekankan penyelesaian secara informal sebelum menggunakan cara formal atau rumus
c.    Mengaitkan sesama topik dalam matematika
d.   Penggunaan metode interaktif dalam belajar matematika
e.    Penghargai ragam jawaban dan kontribusi peserta didik

6.    Teori Belajar Polya
George Polya merupakan putra keempat dari lima bersaudara dari pasangan suami istri berdarah Yahudi, Jakab Polya dan Anna Deutsch.
Sejak kecil ia diarahkan untuk mempelajari bahasa karena ibunya ingin agar George meneruskan profesi ayahnya sebagai seorangpengacara dengan kuliah di bidang hukum. George lulus sekolah dasar pada tahun1894, sebelum melanjutkan di Daniel Berzsenyi Gymnasium guna belajar bahasaYunani klasik dan bahasa Latin selain bahasa Jerman modern maupun bahasa asli
Hongaria. Minat George adalah biologi dan studi kepustakaan, namun menonjol dalam bidang geografi dan subyek-subyek lain. Matematika bukan bidang yangdisukai George.
Di sekolah, nilai mata pelajaran geometri mendapat nilai sedikit lebih baikdibanding aritmatika. Disinyalir bahwa cara mengajar pendidik yang salah membuat peserta didik tidak dapat berprestasi.
George lulus dan masuk universitas Budapest pada tahun 1905 dengan
biaya ditanggung oleh Jeno yang sudah menjadi seorang ahli bedah. Awalnya George mengambil jurusan hukum, namun hanya bertahan satu semester karenadianggapnya membosankan. Banting setir dengan belajar berbagai bahasa dankepustakaan yang menjadi minat utamanya, namun bertahan selama 2 tahun yangmemperoleh sertifikat sebagai bekal untuk mengajar bahasa Latin di sekolahmenengah. Kecewa dengan kenyatan ini, George memutuskan untuk belajarfilsafat, namun seorang profesor Bernat Alexander, menyarankan agar Georgemengambil mata pelajaran fisika dan matematika untuk membantu memahamifilsafat. Nasihat ini dituruti dan George belajar matematika. Disebutkannya bahwafisika terlalu sulit dan filsafat terasa terlalu mudah, sedang matematika berada ditengah-tengah.
Di universitas Budapest, Polya belajar fisika di bawah Eotvos danmatematika dibimbing oleh Fejer. Fejer pada saat itu adalah salah seorangmatematikawan terkemuka Hongaria. Bersama Fejer, Polya membuat karyakaryakolaborasi, dimana pengaruh Fejer sangat terasa pada karya-karya Polya.
Tahun 1910 - 1911, Polya kuliah di universitas Vienna, dengan uang yangdiperoleh lewat mengajar anak-anak orang kaya sebagai dosen pribadi. Di sini, kembali Polya mendapatkan matematika dari tangan Wirtinger dan Mertensmeskipun menambah pengetahuan fisika dengan kuliah teori relativitas, optik dantopik-topik lainnya.Tahun berikutnya, Polya kembali ke Budapest dan dianugerahi dengangelar doktorat di bidang matematika, terutama, dengan belajar sendiri, teoriprobabilitas geometri. Tahun 1912 dan 1913 kembali menekuni matematika diGottingen lewat kumpulan matematikawan terkemuka di dunia seperti: Hilbert,Weyl, Edmund Landau, Runge, Courant, Hecke dan Toeplitz.
Polya bertemu dengan Szego di Budapest pada kisaran tahun 1913, ketikayang baru pulang menuntut ilmu di mancanegara. Szego pada saat itu masihmahasiswa di Budupest dan bersama dengannya Polya mendiskusikan praduga(conjecture) karyanya terntang koefisien-koefisien Fourier. Szego tertarik untukmembuktikan praduga Polya yang dijadikan karya publikasi perdananya.
Beberapa tahun kemudian, ketika Polya memutuskan untuk menulis buku tentangproblem-problem dalam analisis, maka dia meminta bantuan Szego dan hampirselama dua tahun mereka bekerja bersama.Hasilnya buku karya Polya dan Szego tentang problem-problem dalamanalisis sangat berbeda. Polya menjelaskan bahwa bukan problem yang menjadisubyek, tapi metode dalam solusi lebih menjadi penekanan. Mereka bersamasamamenemui penerbit pada tahun 1923 dan karya mereka diterbitkan dalam duajilid.
Tahun 1920, Polya diangkat menjadi profoseor luar biasa di ETZ disusul
memperoleh bea siswa dari Rockefeller (Rockefeller Dellowship) pada tahun 1924, yang memungkinkan dirinya belajar bersama Hardy di Inggris. Mulai tahunitu, Polya terkadang berada di Oxford atau Cambridge, bekerja bersama Hardydan Littlewood. Buku karya trio matematikawan ini terbit pada tahun 1934dengan judul Inequalities. Sambil mengerjakan buku itu, Polya juga membuat 31makalah pada kurun waktu 1926-1928. Jangkauan topik, kedalaman danbanyaknya publikasi yang dilakukannya membuat diangkat menjadi Ordinaryprofesor di ETH pada tahun 1928.
Polya layak disebut matematikawan paling berpengaruh pada abad 20.Riset mendasar yang dilakukan pada bidang analisis kompleks, fisikamatematikal, teori probabilitas, geometri dan kombinatorik banyak memberi sumbangsi bagi perkembangan matematika. Sebagai seorang pendidik yang piawai,minat mengajar dan antusiasme tinggi tidak pernah hilang sampai akhir hayatnya.
Semasa di Zurich-pun, karya-karya di bidang matematika sangat beragam
dan produktif. Tahun 1918, mengarang makalah tentang deret, teori bilangan,
sistem voting dan kombinatorik. Tahun berikutnya, menambah dengan topik, seperti astronomi dan probabilitas. Meskipun pikiran sepenuhnya ditumpahkan
untuk topik-topik di atas, namun Polya mampu membuat hasil mengesankan pada fungsi-fungsi integral.
Tahun 1933, Polya kembali mendapatkan Rockefeller Fellowship dan kaliini dia pergi ke Princeton. Saat di Amerika, Polya diundang oleh Blichfeldt untukmengunjungi Stanford yang menarik minatnya. Kembali ke Zurich pada tahun1940, namun situasi di Eropa – menjelang PD II, memaksa Polya kembali keAmerika. Bekerja di universitas Brown dan Smith College selama 2 tahun, sebelum menerima undangan dari Stanford yang diterimanya dengan senang hati.Sebelum meninggalkan Eropa, Polya sempat mengarang buku “How tosolve it” yang ditulis dalam bahasa Jerman. Setelah mencoba menawarkan keberbagai penerbit akhirnya dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris sebelumditerbitkan oleh Princeton. Buku ini ternyata menjadi buku best seller yang terjuallebih dari 1 juta copy dan kelak dialihbahasakan ke dalam 17 bahasa.Buku ini berisikan metode-metode sistematis guna menemukan solusi atasproblem-problem yang dihadapi dan memungkinkan seseorang menemukanpemecahannya sendiri karena memang sudah ada dan dapat dicari.
Di bawah ini disajikan ringkasan dari buku “How to solve it”. Disebutkanada beberapa tahapan untuk menyelesaikan problem, yaitu:
a.    Memahami problem
Problem apa yang dihadapi? Bagaimana kondisi dan datanya? Bagaimanamemilah kondisi-kondisi tersebut?
b.    Menyusun rencana
Menemkan hubungan antara data dengan hal-hal yang belum diketahui.Apakah pernah problem yang mirip?
c.    Melaksanakan rencana
Menjalankan rencana guna menemukan solusi, periksa setiap langkahdengan seksama untuk membuktikan bahwa cara itu benar.
d.   Menengok ke belakang
Melakukan penilaian terhadap solusi yang didapat.
Keempat tahapan ini lebih dikenal dengan See (memahami problem), Plan (menyusun rencana), Do (melaksanakan rencana) dan Check (menguji jawaban).
Sudah menjadi pekerjaan sehari-hari dalam penyelesaian problem sehingga Polyalayak disebut dengan “Bapak problem solving.”

7.    Teori Belajar Zahorik
Zoharik adalah seorang ahli psikologi kontruktivisme yang berperan penting dalam perkembangan  model pembelajaran kontekstual.
Crowford (2001) mencatat setidaknya ada lima strategi pembelajaran kontekstual yaitu Relating, Experinecing, Applying, Cooperating, dan Transfering. Kelimanya merupakan strategi pembelajaran yang dilaksanakan dalam konteks tempat lingkungan kelas, laboratorium, masyarakat, dan tempat kerja. Penjelasan masing-masing strategi tersebut sebagai berikut. Relating merupakan strategi mengajar kontekstual yang paling berpengaruh, yang beredar di "jantung" konstruktivis, terkait dengan konteks pengalaman hidup atau pengetahuan awal peserta didik. Di mana setiap pendidik mengkaitkan konsep baru dengan ide yang akrab dengan siswa. Experiencing adalah strategi mengajar yang melibatkan peserta didik, tujuannya agar melakukan kegiatan belajar dengan learning by doing yaitu mengalami sendiri melalui kegiatan eksperimen, penelitian, dan penciptaan. Kegiatan langsung dapat melibatkan manipulasi, pemecahan masalah, kegiatan praktikum di lapangan. Applying merupakan penerapan konsep yang ada dengan atau pada konteks lain. Cooperating adalah melakukan kegiatan kerjasama antar peserta didik, seperti melalui kegiatan diskusi kelompok atau diskusi kelas dan melakukan kegiatan praktikum di lapangan secara berkelompok. Selanjutnya, transfering merupakan kegiatan belajar penggunaan konsep pada konteks baru.
Nurhadi (2002:5) menjelaskan pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu pendidik mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan demikian, basil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi peserta didik. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan peserta didik bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari pendidik kepada peserta didik. Selanjutnya, Nurhadi mencatat 15 kata kunci pembelajaran kontekstual sebagai berikut:
a.    Real world learning
b.    Mengutamakan pengalaman nyata
c.    Berpikir tingkat tinggi
d.   Berpusat pada peserta didik
e.    Peserta didik aktif, kritis, dan kreatif
f.     Pengetahuan bermakna dalam kehidupan
g.    Dekat dengan kehidupan nyata
h.    Perubahan perilaku
i.      Siswa praktik bukan menghafal
j.      Learning bukan teaching
k.    Pendidikan (education) bukan pengajaran (instruction)
l.      Membentukan manusia
m.  Memecahkan masalah
n.    Peserta didik "acting" pendidik mengarahkan
o.    Hasil belajar diukur dengan berbagai cara bukan hanya dengan tes.

Dengan mengutip pemikiran Zahorik (E. Mulyasa 2003) dalam aliran kontruktivisme dan mengemukakan lima elemen yang harus diperhatikan dalam pembelajaran kontekstual:
a.    Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge)
b.    Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian memeperhatikan detailnya
c.    Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), yaitu dengan cara menyunsun:
·      Konsep sementara (hipotesis)
·      Melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan (validasi) dan atas dasar tanggapan itu
·      Konsep tersebut direvisi dan dikembangkan
·      Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge )
d.   Pembelajaran ditekankan pada upaya mempraktekan secara langsung apa-apa yang dipelajari.
e.    Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan yang telah dipelajari

·                Implementasi Teori Belajar Dalam Pembelajaran Matematika
Berbagai teori belajar diatas dapat diimplementasikan pada proses belajar-mengajar. Pemakalah mengambil satu cotoh aliran yang akan diimplementasikan yaitu Aliran Kontruktivisme.
Konsep-konsep matematika tersusun secara hierarkis, terstruktur, logis dan sistematis mulai dari konsep yang paling sederhana sampai pada konsep yang paling kompleks. Dalam matematika terdapat topik atau konsep prasyarat sebagai dasar untuk memahami topik atau konsepselanjutnya.
Menurut konstruktivis secara substantif, belajar matematika adalah proses pemecahan masalah. Dalam hal ini fokus utama belajar matematika adalah memberdayakan peserta didik untuk berpikir mengkonstruksi pengetahuan matematika yang pernah ditemukan oleh ahli sebelumnya. Evaluasi dalam pembelajaran matematika secara konstruktivis terjadi sepanjang proses pembelajaran berlangsung (on going assesment).
Selain itu, data kemampuan peserta didik dalam matematika harus memasukkan pengetahuan tentang konsep matematika, prosedur matematika, kemampuan problem solving, reasoning dan komunikasi.
Dari sudut pandang konstruktivis, Koehler dan Grouws (dalam Suherman, 2003) menyatakan bahwa pembelajaran telah dipandang sebagai suatu garis kontinum antara negosiasi dan imposition pada ujung-ujungnya. Lebih jauh lagi, Cobb dan Steffe menambahkan bahwa  “…..dalam pandangan konstruktivisme guru harus secara terus menerus menyadarkan untuk mencoba keduanya aksi peserta didik dengan dirinya dari sudut pandang peserta didik ”. Seorang yang memandang bahwa belajar adalah suatu transmisi, maka proses mengetahui akan mengikuti model imposition (pembebanan). Sedangkan yang berpandangan bahwa mengajar adalah suatu proses memfasilitasi suatu konstruksi, maka ia akan mengikuti model negosiasi. Aktivitas guru dikelas dipengaruhi oleh paham mereka tentang pembelajaran.Perbedaan individu di kelas berimplikasi bahwa pendidik diisyaratkan untuk mempertimbangkan bagaimana menerapkan pembelajaran matematika agar dapat melayani secara cukup perbedaan-perbedaan  individu peserta didik.
Berkenaan dengan perbedaan individu, Board of Studies tahun 1995 menyatakan bahwa “peserta didik akan mencapai prestasi belajar dalam kecepatan yang berbeda dan secara kualitatif dalam cara-cara yang berbeda”. Lovitt dan Clarke, 1988 (dalam Suherman, 2003) menambahkan bahwa “kualitas pembelajaran ditandai dengan berapa luas dalam lingkungan belajar:
·      Mulai dari mana peserta didik ini berada.
·      Mengenali bahwa peserta didik belajar dengan kecepatan yang berbeda dan cara yang berbeda.
·      Melibatkan peserta didik secara fisik dalam proses belajar.
·      Meminta peserta didik untuk menvisualkan yang imajiner….”

Dengan demikian ada suatu perbedaan yang sangat berarti antara pembelajaran matematika menggunakan paradigma konstruktivisme dan pendekatan tradisional. Di dalam konstruktivisme peranan pendidik bukan pemberi jawaban akhir atas pertanyaan peserta didik, melainkan mengarahkan mereka untuk membentuk (mengkonstruksikan) pengetahuan matematika sehingga diperoleh struktur matematika. Sedangkan dalam paradigma tradisional, pendidik mendominasi pembelajaran dan pendidik sanantiasa menjawab ‘dengan segera‘ terhadap pertanyaan-pertanyaan peserta didik.
Implikasi dari perbedaan-perbedaan di atas menjadikan posisi pendidik dalam pembelajaran matematika untuk bernegosiasi dengan peserta didik, bukan memberikan jawaban akhir yang telah jadi. Negosiasi yang dimaksudkan di sini adalah berupa pengajuan pertanyaan-pertanyaan yang menantang peserta didik untuk berpikir lebih lanjut yang dapat mendorong mereka sehingga penguasaan konsepnya semakin kuat. Tidak hanya itu, implikasi pandangan konstruktivis dalam pembelajaran matematika, pendidik akan bertindak sebagai mediator dan fasilitator yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik. Pembelajaran matematika yang menggunakan pendekatan konstruktivis, maka strategi yang sesuai dengan kondisi tersebut adalah dengan pemberian tugas rumah, karena dapat memberikan suatu motivasi kepada siswa untuk memahami suatu konsep secara utuh melalui pengerjaan tugas dengan kondisi dan situasi yang tidak hanya terpaku pada ruang kelas dan keterbatasan waktu dalam proses belajar. Peserta didik dapat berusaha memahami suatu masalah beserta pemecahannya berdasarkan kecepatan dan kemampuannya sendiri. Dengan demikian diharapkan dapat memberi suatu motivasi kepada peserta didil untuk berperan aktif dalam proses pembelajaran dan menimbulkan tangggapan positif terhadap matematika.

























BAB III
PENUTUP
1.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.    Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis pembelajaran dan jenjang pendidikan. Ini berarti, bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu amat tergantung pada proses belajar yang dialami peserta didik baik ketika ia berada di sekolah maupun di lingkungan rumah atau keluarganya sendiri.
b.      teori belajar dapat dipahami sebagai prinsip umum atau kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atau sejumah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar (Muhibbin,2003:92)
c.    Pembelajaran matematika menurut pandangan konstruktivisme adalah membantu pembelajaran matematika membangun konsep-konsep, prinsip-prinsip matematika dengan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi sehingga prinsip atau konsep itu terbangun kembali dan transformasi dan informasi yang diperoleh menjadi konsep atau prinsip baru.
d.      Diantara sekian banyak teori belajar, dalam perkembangannya ini terdapat empat macam arus besar teori belajar, yaitu :
e.       Aliran Behaviorisme
f.       Aliran Kognitif
g.      Aliran Humanistis
h.      Aliran Kontruktivisme
Empat aliran ini memiliki pijakan berpikir yang sangat jelas perbedaannya. Aliran behaviorisme memandang belajar sebagai perubahan tingkah laku, sehingga belajar merupakan rangkaian aktivitas mengelola stimulus untuk mendapatkan respon yang diinginkan, sedangkan aliran kognitif memandang belajar sebagai perubahan struktur kognitif, aliran humanistis memandang belajar sebagai penyusunan dan penyajian materi pelajaran yang harus sesuai dengan perasaan dan perhatian siswa, serta aliran kontruktivisme yang memandang bahwa proses pembelajaran adalah bagaimana pengetahuan disusun dalam pemikiran pelajar.
i.        Teori Polya
Pemecahan masalah merupakan aktivitas intelektual yang paling tinggi. Pemecahan masalah harus didasarkan atas adanya kesesuaian dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa, supaya tidak terjadi stagnasi.
Tahapan pemecahan masalah:
1) Memahami masalah
2) membuat rencana/cara penyelesaian masalah
3) menjalankan rencana/menyelesaikan masalah
4) melihat kembali/recek.
j.        Freudenthal dan Treffers (RME: Realistic Mathematics Education)
·      Pematematikaan: horizontal (H), diteruskan vertikal (V)realistic (H+,V+)
·      Mekanistik (drill & practice: (H- dan V-); empiris (H+, V-) strukturilistik (H-, V+)
k.      Teori Van Hiele
Tahap perkembangan siswa dalam memahami geometri:
1) Pengenalan
2) analisis
3) pengurutan
4) deduksi
5) keakuratan (rigor)
l.        Teori Confrey
Confrey (dalam Suherman, 2003), menawarkan suatu powerfull construction dalam matematika. Dalam mengkonstruksi ia mengidentifikasikan sepuluh karakteristik powerfull construction berpikir siswa. Powerfull construction tersebut ditandai oleh:
·    Sebuah struktur dengan ukuran kekonsistenan internal
·    Suatu keterpaduan antar bermacam – macam konsep
·    Suatu kekonvergenan diantara aneka bentuk dan konteks
·    Kemampuan untuk merefleksikan dan menjelaskan
·    Sebuah kesinambungan sejarah
·    Terikat kepada bermacam – macam sistem simbol
·    Suatu yang cocok dengan pendapat experts (ahli)
·    Suatu yang potensial untuk bertindak sebagai alat untuk konstruksi lebih lanjut
·    Sebagai petunjuk untuk tindakan selanjutnya
·    Suatu kemampuan untuk menjustifikasi dan mempertahankan.
m.    Teori Zahorik :
·      Pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta didik
·      Pembelajaran dimulai dari keseluruhan (global) menuju bagian-bagiannya secara khusus (dari umum ke khusus)
·      Pembelajaran harus ditekankan pada pemahaman, dengan cara: (a) menyusun konsep sementara; (b) melakukan sharing untuk memperoleh masukan dan tanggapan dari orang lain; dan (c) merevisi dan mengembangkan konsep.
·      Pembelajaran ditekankan pada upaya mempraktekan secara langsung apa-apa yang dipelajari.
·      Adanya refleksi terhadap strategi pembelajaran dan pengembangan pengetahuan yang dipelajari.
n.      Teori Belajar Treffers
Treffers mengklasifikasikan pendidikan matematika berdasarkan horizontal dan vertikal mathematization (matematisasi) ke dalam empat tipe:
·      Mechanistic
·      Empiristic
·      Structuralist
·      Realistic

2.    Saran
Saran yang dapat diberikan mengenai pendekatan pembelajaran matematika menurut konstruktivisme adalah dalam pembelajaran pendidik tidak dapat hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada peserta didik. Peserta didik harus membangun sendiri pengetahuan dalam benaknya. pendidik hanya membantu agar informasi menjadi lebih bermakna dan relevan bagi peserta didik dengan menunjukkan kesempatan kepada peserat didik untuk menggunakan strategi-strategi yang dimilikinya untuk belajar. Selain itu, posisi pendidik dalam pembelajaran matematika adalah untuk bernegosiasi dengan peserta didik, bukan memberikan jawaban akhir yang telah jadi. Tidak hanya itu, pendidik seharusnya diharapkan dapat bertindak sebagai mediator dan fasilitator yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik. Melalui pemberian tugas rumah dengan pendekatan konstruktivis, diharapkan dapat memberikan suatu motivasi kepada peserta didik untuk memahami suatu konsep secara utuh melalui pengerjaan tugas dengan kondisi dan situasi yang tidak hanya terpaku pada ruang kelas dan keterbatasan waktu dalam proses belajar. Peserta didik dapat berusaha memahami suatu masalah beserta pemecahannya berdasarkan kecepatan dan kemampuannya sendiri.







DAFTAR PUSTAKA


Hamzah.2003.Problem Posing Dan Problem Solving Dalam Pembelajaran Matematika.Bandung:Pustaka Ramadhan.

Suherman, H. Erman, dkk.2003.Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.Jakarta:Universitas Pendidikan Indonesia.
Hartono.2012.Psikologi Konseling.Jakarta:Kencana
Malyono.2005.Psikologi Pendidikan.Jakarta:Renaka Cipta
Syah,Muhibbin.2003.Psikologi Belajar.Jakarta:Raja Grafindo Persada
http://masbied.files.wordpress.com/2011/05/modul-matematika-teori-belajar-polya.pdf


 

1 komentar:

yedidiyahwaggle mengatakan...

Caesars Palace | Mapyro
View the Caesars Palace, 창원 출장안마 including the map, check 안양 출장안마 the 충청북도 출장샵 casino floor and 강원도 출장마사지 read reviews of all 2624CasinoSt. Louis Blvd. in East 경상북도 출장마사지 Chicago.