MAKALAH
BELAJAR DAN
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Diajukan sebagai salah satu tugas terstruktur mata
kuliah Belajar
dan Pembelajaran Matematika
Dosen Pengampu : Widodo Winarso, M.Pdi
Kelas : Matematika C
Disusun Oleh :
Musyfiah 14121520519
Risna Nilam Lutfia 14121530632
Siti Rita Anita 14121510622
FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI
CIREBON
2013
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini yang
alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “PSIKOLOGI PEMBELAJARAN MATEMATIKA”
Makalah
ini berisikan tentang informasi pengertian belajar, teori belajar, dan aliran
yang menyertainya.
Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada
kita semua tentang pokok baasan psikologi pembelajaran matematika.
Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir
kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kita. Amin.
Cirebon,
12 Januari 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 2
Tujuan Penulisan 2
Manfaat 2
BAB II PEMBAHASAN
Pengertian Psikologi 3
Definisi Belajar 3
Pentingnya Belajar 3
Teori Pokok Belajar 6
Teori Belajar Menurut Para Ahli 12
Implementasi Psikologi Pembelajaran Matematika 28
BAB III PENUTUP
Kesimpulan 32
Saran 35
DAFTAR PUSTAKA 36
BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Belajar
adalah proses untuk memperoleh sesuatu pengalaman atau pengetahuan yang baru
yang dilakukan oleh manusia untuk mengembangkan dan memajukan kehidupannya.
Proses berpindahnya informasi atau pengetahuan dari satu orang ke orang yang
lain sering disebut dengan proses belajar mengajar.
Sebelum psikologi memasuki lapangan
pendidikan, banyak orang beranggapan bahwa penguasaan mengenai bahan pelajaran
yang akan diberikan kepada peserta didik merupakan satu-satuya syarat yang
harus dipenuhi bagi guru.
Pendapat yang demikian seakan-akan
mengemukakan anak sebagai benda-benda mati yang dapat diperlukan menurut
kehendak guru. Akan tetapi dengan terjadinya perkembangan yang luas dalam lapangan
ilmu pengetahuan psikologi, anggapan itu mulai mengalami perubahan. Perubahan
itu mulai timbul pada abad ke-19 dimana orang menyadari bahwa pengetahuan
secara mendalam mengenai mata pelajaran yang diberikan belum cukup untuk
menjadi guru yang baik, disamping itu dibutuhkan pula pengetahuan pelengkap
untuk penjadi guru yang profesional, salah satunya adalah psikologi.
Pengetahuan yang bersifat psikologis
mengenai peserta didik akan menjadikan guru mengetahui hakikat gejala-gejala
kejiwaan, perkembangan, dan bakat peserta didik. Serta dapat menambah hasil
guna dan tepat guna, karena dapat menciptakan keserasian antara pengajar dan
peserta didik.
Guru matematika yang mempelajari bagian ini akan
sangat berguna dalam meningkatkan kemampuan dirinya sebagai guru matematika
yang profesional dan kompeten, salah satu ciri
pembelajaran matematika masa kini adalah penyajiannya didasarkan pada suatu
teori psikologi belajar yang saat ini masih dikembangkan oleh ahli pendidikan.
2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang
diatas, maka dapat dirumuskan :
1. Apa pengertian teori belajar ?
2. Bagaimana bunyi teori belajar menurut
Van Hiele ?
3. Bagaimana bunyi teori belajar menurut
Freud ?
4. Bagaimana bunyi teori belajar menurut
Confrey ?
5. Bagaimana bunyi teori belajar menurut
Cobb ?
6. Bagaimana bunyi teori belajar menurut Treffers
?
7. Bagaimana bunyi teori belajar menurut
Polya ?
8. Bagaimana bunyi teori belajar menurut Zahorik
?
9. Bagaimana implementasi teori belajar
yang dikemukakan oleh para ahli diatas dalam pembelajaran matematika ?
3. Tujuan
Tujuan penulisan
makalah ini adalah, sebagai berikut :
1. Mengetahui pengertian teori belajar
2. Mengetahui teori belajar menurut Van
Hiele
3. Mengetahui teori belajar menurut Freud
4. Mengetahui teori belajar menurut Confrey
5. Mengetahui teori belajar menurut Cobb
6. Mengetahui teori belajar menurut Treffers
7. Mengetahui teori belajar menurut Polya
8. Mengetahui teori belajar menurut Zahorik
9. Mengetahui implementasi teori belajar
dalam pembelajaran matematika
4. Manfaat
Manfaat
dari penulisan makalah ini adalah agar kami sebagai mahasiswa dapat mengetahui apa
itu teori belajar dan bagaimana implementasinya dalam pembelajaran matematika. Serta
merupakan tugas terstruktur dan salah satu penilaian dalam mata kuliah Belajar dan Pembelajaran.
BAB
II
PEMBAHASAN
PSIKOLOGI
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Secara umum
psikologi adalah ilmu yang mempelajari gejala kejiwaan seseorang yang sangat
penting adanya dalam proses pendidikan. Psikologi pendidikan merupakan alat
dalam mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan, karena prinsip yang
terkandung dalam psikologi pendidikan dapat dijadikan landasan berfikir dan
bertindak dalm mengelola proses belajar-mengajar, yang merupakan unsur utama
dalam pelaksanaan setiap sistem pendidikan.
Dalam menerapkan
prinsip psikologis tersebut diperlukan adanya figur guru yang kompeten, dan
guru yang kompeten adalah guru yang mampu melaksanakan profesinya secara
bertanggung jawab yang mampu mengelola proses belajar-mengajar sebaik mungkin
sesuai dengan prinsip-prinsip psikologi.
·
Definisi belajar
Belajar adalah
kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam
penyelenggaraan setiap jenis pembelajaran dan jenjang pendidikan. Ini berarti,
bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu amat tergantung
pada proses belajar yang dialami peserta didik baik ketika ia berada di sekolah
maupun di lingkungan rumah atau keluarganya sendiri. Oleh karena itu, pemahaman
yang benar mengenai arti belajar dengan segala aspek, bentuk, dan
manifestasinya mutlak diperlukan oleh para pendidik. Kekeliruan atau ketidak
lengkapan persepsi mereka terhadap proses belajr-mengajar akan menyebabkan
hasil belajar yang tidak optimal bagi peserta didik.
·
Peran Penting Belajar
Proses
belajar-mengajar yang baik akan mengoptimalkan hasil belajar dan mengembalikan
arti belajar yang sesungguhnya. Belajar adalah key term “istilah kunci” yang paling vital dalam setiap usaha
pendidikan, sehingga tanpa belajar sesungguhnya tak akan pernah ada pendidikan.
Sebagai suatu proses, belajar hampir selalu mendapat tempat yang luas dalam
berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan upaya kependidikan, misalnya
psikologi pendidikan dan psikologi belajar. Karena demikian pentingnya arti
belajar, maka bagian terbesar upaya riset dan eksperimen psikologi belajar pun
diarahkan pada tercapainya pemahaman yang lebih luas dan mendalam mengenai
proses perubahan manusia itu (Muhibbin,2003:59).
Perubahan dan
kemampuan untuk berubah merupakan batasan dan makna yag terkandung dalam
belajar. Disebabkan oleh kemampuan untuk berubah, manusia dapat belajar sehingga
dapat berkebang lebih jauh daripada makhluk-makhluk lainnya, yang akan
berimplikasi terbesasnya manusia dari kemadegan fungsinya sebagai khalifah
Tuhan di muka bumi ini. Boleh jadi, karena kemampuan berkembang melalui belajar
itu pula manusia secara bebas dapat mengeksplorasi, memilih, dan menetapkan
keputusan-keputusan penting dalam kehidupannya (Muhibbin,2003:59).
Banyak sekali
bentuk perkembangan yang terdapat dalam diri manusia yang terkandung dalam
belajar sebagai contoh yaitu perkembangan kecakapan berbicara. Menurut
fitrahnya, setiap manusia yang normal memiliki potensi untuk cakap berbicara,
namun kecakapan berbicara ini tidak akan terwujud dengan baik tanpa adanya
upaya belajar yang optimal (Muhibbin,2003:60).
Belajar juga
memiliki peran penting dalam mempertahankan kehidupan sekelompok umat manusia
(bangsa) di tengah persaingan yang semakin erat di antara bagsa-bangsa lainnya
yang terlebih dahulu maju karena belajar. Akibat persaingan tersebut, kenyataan
tragis bisa pula terjadi karena belajar. Contoh, tidak sedikit orang pintar
yang menggunakan kepintarannya untuk membuat orang lain terpuruk atau bahkan
menghancurkan kehidupan orang tersebut.
Kenyataan tragis
lainnya lebih parah pula terkadang muncul akibat hasil belajar, Hasil belajar
ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi, sebagai contoh yaitu tak jarang ilmu
teknologi ini digunakan untuk membuat senjata yang akan memusnahkan sesama umat
manusia. Alhasil, belajar disamping membawa manfaat terkadang juga membawa
madarat.
Meskipun
terdapat dampak negatif dari hasil belajar dari sekelompok manusia tertentu,
kegiatan belajar tetap memiliki arti penting. Alasannya, seperti yang telah
dikemukakan di atas, belajar berfungsi sebagai ala mempertahankan kehidupan
manusia. Artinya, dengan ilmu pengetahuan dan teknologi hasil belajar kelompok
manusia yang tertindas sekali pun dapat digunakan untuk membangun benteng
pertahanan (Muhibbin,2003:62).
Selanjutnya,
dalam perspektif agama Islam pun belajar dinilai sebagai hal penting yang
memiliki kedudukan sebagai kewajiban bagi setiap orang beriman agar memperoleh
ilmu pengetahuan yang akan mengangkat derajat kehiduan mereka. Kewajiban ini
difirmankan Allah dalam Al-Quran surat Mujadalah ayat 11, yang artinya :
“
. . . niscaya Allah akan meninggikan beberapa derajat kepada orang-orang yang
beriman dan berilmu.”
Ilmu
dalam hal ini tentu saja bukan hanya pengetahuan agama tetapi juga berupa
pengetahuan yang berjalan seriring kemajuan zaman. Selain itu, ilmu tersebut
juga harus bermanfaat bagi dirinya serta orang-orang di sekitarnya.
Berdasakan
pertimbangan diatas, guru yang profesional haruslah melihat hasil belajar siswa
dari berbagai sudut kinerja psikologis yang utuh dan menyeluruh. Sehubungan
dengan ini, seorang peserta didik yang menempuh proses belajar idelanya
ditandai oleh munculnya pengalaman-pengalaman positif psikologis baru yang
positif. Pengalaman-pengalaman tersebut diharapkan dapat mengembangkan aneka
ragam sikap, sifat, dan kecakapan yang konstruktif, bukan kecakapan yang
destruktif.
Matematika adalah
satu bagian dari ilmu pengetahuan pokok yang diajarkan di sekolah, dan
dipandang sebagai pelajaran yang sulit bahakan tidak sedikit peserta didik yang
menggapnya menakutkan, memerlukan figur guru yang kompeten.
Seperti yang
telah disinggung sebelumnya bahwa salah satu ciri pembelajaran matematika masa
kini adalah penyajiannya didasarkan pada suatu teori psikologi belajar yang
saat ini masih dikembangkan oleh ahli pendidikan. Kemampuan memahami
teori-teori belajar ini merupakan salah satu kompetensi pedagogik guru,
sehingga guru mampu mengembangkan pembelajaran yang memuat tiga macam
aktivitas, yaitu eksplorasi, klarifikasi, dan refleksi.
·
Teori-Teori Pokok Belajar
Secara
pragmatis, teori belajar dapat dipahami sebagai prinsip umum atau kumpulan
prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atau sejumah fakta dan
penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar (Muhibbin,2003:92)
Teori belajar
atau teori perkembangan mental menurut Ruseffendi (1988) adalah berisi uraian
tentang apa yang terjadi dan apa yang diharapkan terjadi terhadap mental
peserta didik. Sementara itu, pengertian tentang belajar itu sendiri
berbeda-beda menurut teori belajar yang dianut seseorang. Menurut pandangan
modern menganggap bahwa belajar merupakan kegiatan mental seseorang sehingga
terjadi perubahan tingkah laku. Perubahan tersebut dapat dilihat ketika siswa
memperlihatkan tingkah laku baru, yang berbeda dari tingkah laku sebelumnya.
Selain itu, perubahan tingkah laku tersebut dapat dilihat ketika seseorang memberi
respons yang baru pada situasi yang baru (Gledler, 1986). Hudoyo (1998)
menyatakan bahwa belajar adalah kegiatan yang berlangsung dalam mental
seseorang, sehingga terjadi perubahan tingkah laku, di mana perubahan tingkah
laku tersebut bergantung kepada pengalaman seseorang.
Diantara sekian banyak teori
belajar, dalam perkembangannya ini terdapat empatmacam arus besar teori
belajar, yaitu :
a. Aliran Behaviorisme
b. Aliran Kognitif
c. Aliran Humanistis
d. Aliran Kontruktivisme
Empataliran ini
memiliki pijakan berpikir yang sangat jelas perbedaannya. Aliran behaviorisme
memandang belajar sebagai perubahan tingkah laku, sehingga belajar merupakan
rangkaian aktivitas mengelola stimulus untuk mendapatkan respon yang
diinginkan, sedangkan aliran kognitif memandang belajar sebagai perubahan
struktur kognitif, aliran humanistis memandang belajar sebagai penyusunan dan
penyajian materi pelajaran yang harus sesuai dengan perasaan dan perhatian
siswa, serta aliran kontruktivisme yang memandang bahwaproses pembelajaran
adalah bagaimana pengetahuan disusun dalam pemikiran pelajar.
Cara pandang
tentang proses belajar tentunya akan mempengaruhi bagiamana cara guru mengajar.
Dari tiga aliran teori belajar tersebut lahirlah pendekatan belajar, model pembelajaran,
strategi pengajaran, hingga metodenya. Begitu pentingnya pengetahuan tentang
teori belajar ini bagi guru, sehingga guru mampu merancang pembelajarannya
sesuai dengan materi yang hendak dikembangkan, level pengetahuan siswa, dan
teori belajar yang dirujuk.
Ketiga aliran
psikologi di atas mengalami perkembangan secara beruntun dari priode satu ke
priode selanjutnya, dalam masing-masing priode perkembangan aliran psikologi
bermuculan berbagai teori belajar, yaitu :
a. Teori belajar psikologi behavioristik
(tingkah laku)
Teori
belajar psikologi behavioristik ini detemukan oleh para psikolog behavioristik.
Mereka sering disebut “contemporary
behaviorists” atau disebut juga “S-R psychologists”.
Mereka berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan (reinforcement) dari lingkungan. Dengan
demikian, dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara
reaksi-reaksi behavioral dengan stimulasinya (Dalyono,2005:30)
Guru-guru
yang menganut pandangan ini berpendapat bahwa tingkah laku peserta didiknya
merupakan reaksi-reaksi terhadap lingkungan mereka pada masa lalu dan masa
sekarang, serta bahwa segenap tingkah laku merupakan hasil belajar. Kita dapat
menganalisis kejadian tingkah laku dengan jalan mempelajari latar belakang
penguatan (reinforcement) terhadap
tingkah laku tersebut.
Penganut
psikologi ini juga beranggapan bahwa belajar sebagai hasil dari pembentukan
hubungan antara rangsangan dari luar (stimulus)
dan tanggapan dari dalam diri peserta didik (response) yang diamati. Semakin sering hubungan antara rangsangan
dan tanggapan terjadi maka semakin kuat hubungan keduanya (law of exercise). Di samping itu, menuruut mereka kuat tidaknya
hubungan ditentukan oleh kepuasan atau ketidakpuasan yang menyertainya (law of effect). Oleh sebab itu, dua kata
kunci penganut teori ini adalah ‘latihan’ dan ‘ganjaran’ atau ‘penguatan’.
Teori yang dikemukakan oleh peganut aliran behaviorisme ini sangat cocok
digunakan untuk mengembangkan pengetahuan siswa yang beruhungan dengan
pencapaian hasil belajar (pengetahuan) matematika seperti fakta, konsep,
prinsip, skill atau keterampilan yang
telah digagas oleh Robhet M Gagne sebagai objek langsung matematika (Fadjar
Shadiq,2008:4)
Ahli
belajar (learning theoris) Gagne
telah membagi objek belajar matematika menjadi dua bagian, yaitu objek langsung
dan objek tidak langsung. Objek langsungnya adalah fakta, konsep, prinsip dan
keterampilan. Sedangkan objek tidak langsungnya adalah berfikir logis,
memecahkan masalah, sikap positif terhadap matematika, ketekunan, ketelitian,
dan sebagainya.
Psikologi
aliran behavioristik mulai berkembang sejak lahirnya teori-teoti tentang
belajar, yang dipelopori oleh Thorndike, Pavlov, Watson, dan Guthrie. Mereka
masing-masing telah mengadakan penelitian yang menghasilkan berbagai penemuan
berharga dalam luang lingkup belajar. Objek tidak langsung ini adalah objek yan
akan dipelajari oleh peserta didik secara tidak langsung ketika mereka
mempelajari objek langsung matematika itu sendiri.
b. Teori belajar psikologi kognitif
Teori
belajar psikologi kognitif ini memandang bahwa tingkah laku seseorang tidak
hanya dikontrol oleh “reward” dan “reinfocement”. Mereka yang beranggapan
seperti ini adalah para ahli jiwa atau psikolog aliran kognitif, menurut
pendapat mereka tingkah laku seseorang senantiasa didasarkan pada kognisi,
yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku ini
terjadi. Dalam situasi belajar, seseorang terlibat langsung dengan situasi itu
dan memperoleh “insight” untuk
pemecahan masalah. Jadi kaum kognitif berpandangan bahwa, tingkah laku
seseorang lebih bergantung kepada insight
terhadapp hubungan-hubungan yang ada di dalam satu situasi. Keseluruhan adalah
lebih kepada bagian-bagiannya. Mereka memberi memberi tekanan pada organisasi
pengamatan atas stimulus di dalam lingkungan serta pada faktor-faktor yang
mempengaruhi pengamatan.
Psikologi
kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori Gestalt. Peletak dasar
psikologi ini adalah Mex Wertheimer yang meneliti tentang pengamatan dan
problem solving. Sumbangannya ini diikuti oleh Kurt Koffka yang menguraikan
secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan, kemudian Wolfag Kohler yang
meneliti tentang insight pada simpanse. Penelitian-penelitian mereka menumbuhkan
psikologi kognitif Gestalt yang menekankan bahasan pada masalah konfigurasi,
struktur, dan pemetaan dalam pengamatan. Kaum Gestaltis berpendapat bahwa
pengalaman itu berstruktur yang terbentuk dalam keseluruhan yang terorganisasi,
bukan dalam bagian-bagian terpisah.
Suatu
konsep penting dalam teori ini adalah “insight”, yaitu pengamatan atau
pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian-bagian di dalam
suatu situasi permasalahan. Insight itu sering dihubungkan dengan pernyataan
spontan seperti “aha” atau “oh”.
Menurut
pandangan teori Gestalt ini, semua kegiatan belajar menggunakan insight atau
pemahaman terhadap hubungan-hubungan, terutama hubungan antara bagian dan
keseluruhan. Mereka menganggap tingkat kejelasan atau keberartian dari apa yang
diamati dalam situasi belajar adalah lebih meningkatkan belajar seseorang
daripada dengan hukuman dan ganjaran.
c. Teori belajar psikologi humanistik
Teori
belajar psikologi yang ketiga dan sangat bertolak belakang dengan dua aliran
sebelumnya. Aliran humanistik sering kali disebut sebagai kekuatan ketiga (third force) dalam bidag psikologi.
Berbeda
dengan dua aliran sebelumnya, psikologi humanistik meyakini bahwa manusia
mempunyai sifat dasar yang baik. Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa
manusia mempunyai kemampuan untuk terus berkembang, mengarahkan diri, kreatif,
dan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Jelasnya, menurut aliran ini manusia
mempunyai kemampuan untuk menentukan arah hidupnya sendiri dengan penuh
kesadaran dan kebebasan.
Perhatian
psikologi humanistik yang terutama tertuju pada masalah bagaimana tiap-tiap
individu dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka
hubungkan kepada pengalama-pengalaman mereka sendiri. Menurut para pendidik
aliran humanistik ini, penyusunan dan penyajian materi pelajaran harus sesuai
dengan perasaan dan perhatian peserta didik.
Tujuan
utama para pendidik ialah membantu peserta didik untuk mengembangkan dirinya,
dengan membantu masing-masing individu mengenal di mereka sendiri sebagai manusia
yang unik dan membantunya dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada pada diri
mereka.
Pada
akhir tahun 1940 muncullah suatu perspektif psikologi baru. Orang-orang
terlibat dalam penerapan psikologilah yang berjasa dalam perkembangan teori
ini, misalnya ahli-ahli psikologi klinik, pekerja-pekerja sosial dan konselor,
serta bukan hasil penelitian dalam bidaang proses belajar. Gerakan ini
berkembang dan kemudian dikenal sebagai psikologi humanistis, eksestransial,
perseptual, atau fenomenologikal. Psikologi ini berusaha memahami perilau
seseorang dari sudut si pelaku (behaver)
bukan dari pengamat (observer).
Dalam
dunia pendidikan psikologi humanistik ini muncul sekitar tahun 1960 sampai
1970-an dan mungkin perubahan-perubahan serta inovasi yang terjadi selama dua
dekade yang terakhir pada abad ke-20 ini pun juga akan menuju pada arah ini.
Aliran
humanistik ini diperkenalkan Abraham Harold Maslov, Rogers, Form, Comb, Gordon
Alport, dan Kelly.
d. Teori belajar psikologi kontruktivisme
Pandangan
konstruktivistik tentang pembentukan pengetahuan adalah subjek aktif
menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksi dengan lingkungannya.
Melalui bantuan struktur-struktur kognitif ini, subjek menyusun pengertian
realitasnya. Interaksi kognitif terjadi sejauh realitas tersebut disusun
melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subjek itu sendiri. Struktur
kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan
lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi
secara terus menerus melalui proses rekonstruksi.
Konsep
belajar konstruktivis didasarkan kepada kerja akademik para ahli psikologi dan
peneliti yang peduli dengan konstruktivisme. Para ahli konstruktivisme bahwa
ketika para siswa mencoba menyelesaikan tugas-tugas di kelas, maka pengetahuan
dikonstruksi secara aktif. Para ahli konstuktivis yang lain mengatakan bahwa
dari perspektifnya konstruktivis, belajar matematika bukanlah suatu proses
“pengepakan” pengetahuan melainkan mengorganisir aktivitas , dimana kegiatan
ini di interpretasikan secara luas termasuk aktivitas dan berfikir konseptual.
Menurut Cobb dalam Suherman (2001:71) bahwa belajar matematika merupakan proses
dimana siswa secara aktif mengkonstruksi pengetahuan matematika.
Pendekatan
konstruktivisme merupakan proses pembelajaran yang menerangkan bagaimana
pengetahuan disusun dalam pemikiran peserta didik. Pengetahuan dikembangkan
secara aktif oleh pelajar itu sendiri dan tidak diterima secara pasif dari
orang disekitarnya. Hal ini bermakna bahwa pembelajaran merupakan hasil dari
usaha peserta didik itu sendiri dan bukan hanya ditransfer dari pendidik kepada
peserta didik. Hal tersebut berarti peserta didik tidak lagi berpegang pada
konsep pengajaran dan pembelajaran yang
lama, dimana pendidik hanya menuangkan atau mentransfer ilmu kepada
peserta didik tanpa adanya usaha terlebih dahulu dari peserta didik itu
sendiri.
Menurut
pandangan ahli konstruktivisme, setiap peserta didik mempunyai peranan dalam menentukan apa yang dipelajari.
Penekanan diberikan kepada peserta didik agar dapat membentuk kemahiran dan
pengetahuan yaitu dengan mengaitkan pengalaman yang terdahulu dengan kegunaannya
di masa depan. Peserta didik tidak hanya diberikan penekanan terhadap fakta
atau konsep tetapi juga diberikan penekanan terhadap proses berpikir serta
kemahiran berkomunikasi.
Di
dalam kelas konstruktivis, para peserta didikdiberdayakan oleh pengetahuan yang
berada dalam diri mereka. Mereka berbagi strategi dan penyelesaian, debat
antara satu dengan lainnya, berpikir secara kritis tentang cara terbaik
menyelesaikan setiap masalah. Dalam kelas konstruktivis seorang pendidik tidak
mengajarkan kepada peserta didiknya bagaimana menyelesaikan persoalan, namun
mempresentasikan masalah dan mendorong (encourage)
peserta didik untuk menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan
permasalahan. Pada saat peserta didik memberikan jawaban, pendidik mencoba
untuk tidak mengatakan bahwa jawabannya benar atau tidak benar. Namun pendidik
mendorong peserta didiknya untuk setuju atau tidak setuju kepada ide seseorang
dan saling tukar menukar ide sampai persetujuan dicapai tentang apa yang dapat masuk
akal peserta didik itu sendiri (Suherman, 2003).
·
Teori Belajar Menurut Para Ahli Psikologi
Seperti
yang telah pemakalah bahas sebelumnyabelajar adalah salah satu kewajiban setiap
individu, dalam belajar itu sendiri terdapat berbagai macam teori belajar yang
dapat membantu memudahkan proses belajar-mengajar yang terjadi di dalam bidang
pendidikan. Di bawah ini adalah ahli psikologi dengan teori belajar
psikologinya yang berperan penting dalam kemajuan dan perkembangan ilmu
psikologi dalam bidang pendidikan :
1. Teori belajar Van Hiele
Dua
tokoh pendidikan matematika dari Belanda, yaitu Pierre Van Hiele dan isterinya,
Dian Van Hiele-Geldof, pada tahun-tahun 1957 sampai 1959 mengajukan suatu teori
mengenai proses perkembangan yang dilalui peserta didik dalam mempelajari
geometri. Tahapan berpikir atau tingkat kognitif yang dilalui peserta didik
dalam pembelajaran geometri, menurut Van Hiele adalah sebagai berikut:
a. Level 0 (Tingkat Visualisasi)
Tingkat
ini disebut juga tingkat pengenalan. Pada tingkat ini, peserta didik memandang
sesuatu bangun geometri sebagai suatu keseluruhan (wholistic). Pada tingkat ini peserta didik belum memperhatikan
komponen-komponen dari masing-masing bangun. Dengan demikian, meskipun pada
tingkat ini peserta didik sudah mengenal nama sesuatu bangun, peserta didik
belum mengamati ciri-ciri dari bangun itu. Sebagai contoh, pada tingkat ini
peserta didikmengetahui suatu bangun bernama persegipanjang, tetapi ia belum
menyadari ciri-ciri bangun persegipanjang tersebut.
b. Level 1 (Tingkat Analisis)
Tingkat
ini dikenal sebagai tingkat deskriptif. Pada tingkat ini peserta didik sudah
mengenal bangun-bangun geometri berdasarkan ciri-ciri dari masing-masing
bangun. Dengan kata lain, pada tingkat ini peserta didik sudah terbiasa
menganalisis bagian-bagian yang ada pada suatu bangun dan mengamati sifat-sifat
yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut
c. Level 2 (Tingkat Abstraksi)
Tingkat
ini disebut juga tingkat pengurutan atau tingkat relasional. Pada tingkat ini,
peserta didik sudah bisa memahami hubungan antar ciri yang satu dengan ciri
yang lain pada sesuatu bangun. Sebagai contoh, pada tingkat ini peserta didik
sudah bisa mengatakan bahwa jika pada suatu segiempat sisi-sisi yang berhadapan
sejajar, maka sisi-sisi yang berhadapan itu sama panjang. Di samping itu pada
tingkat ini peserta sudahmemahami perlunya definisi untuk tiap-tiap bangun.
Pada tahap ini, peserta didik juga sudah bisa memahami hubungan antara bangun
yang satu dengan bangun yang lain. Misalnya pada tingkat ini peserta didik
sudah bisa memahami bahwa setiap persegi adalah juga persegipanjang, karena
persegi juga memiliki ciri-ciri persegipanjang.
d. Level 3 (Tingkat Deduksi Formal)
Pada
tingkat ini peserta didik sudah memahami perenan pengertian-pengertian pangkal,
definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan terorema-teorema dalam geometri. Pada
tingkat ini peserta didik sudah mulai mampu menyusun bukti-bukti secara formal.
Ini berarti bahwa pada tingkat ini peserta didik sudah memahami proses berpikir
yang bersifat deduktif-aksiomatis dan mampu menggunakan proses berpikir
tersebut.
e. Level 4 (Tingkat Rigor)
Tingkat
ini disebut juga tingkat metamatematis. Pada tingkat ini, peserta didik mampu
melakukan penalaran secara formal tentang sistem-sistem matematika (termasuk
sistem-sistem geometri), tanpa membutuhkan model-model yang konkret sebagai
acuan. Pada tingkat ini, peserta didik memahami bahwa dimungkinkan adanya lebih
dari satu geometri.
Sebagai
contoh, pada tingkat ini peserta didik menyadari bahwa jika salah satu aksioma
pada suatu sistem geometri diubah, maka seluruh geometri tersebut juga akan
berubah. Sehingga, pada tahap ini peserta didik sudah memahami adanya
geometri-geometri yang lain di samping geometri Euclides.
Menurut
Van Hiele, semua peserta didik mempelajari geometri dengan melalui tahap-tahap
tersebut, dengan urutan yang sama, dan tidak dimungkinkan adanya tingkat yang
diloncati. Akan tetapi, kapan seseorang speserta didik mulai memasuki suatu
tingkat yang baru tidak selalu sama antara peserta didik yang satu dengan
peserta didik yang lain.
Selain
itu, menurut Van Hiele proses perkembangan dari tahap yang satu ke tahap
berikutnya terutama tidak ditentukan oleh umur atau kematangan biologis, tetapi
lebih bergantung pada pengajaran dari pendidik dan proses belajar yang dilalui
peserta didik.
Menurut
Van Hiele ada tiga unsur dalam pengajaran
matematika yaitu waktu, materi pengajaran, dan metode pengajaran. Jika
ketiganya ditata secara terpadu maka akan terjadi peningkatan kemampuan
berfikir peserta didik kepada tingkatan berfikir lebih tinggi.
2. Teori Belajar Freudenthal
Hans
Freudenthal adalah seorang ahli psikologi yang memperkenalkan Pembelajaran
Matematika Realistik (PMR) atau disebut juga Realistic Mathematics Education (RME) merupakan teori pembelajaran
matematika yang mengatakan bahwa matematika merupakan proses insani dan harus
dikaitkan dengan realitas. Freudenthal berpendapat bahwa peserta didik tidak
dapat dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah jadi. Pendidikan
matematika harus diarahkan pada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan yang
memungkinkan peserta didik menemukan kembali (reinvention) matematika berdasarkan usaha mereka sendiri.
Pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik juga memberikan peluang
pada siswa untuk aktif mengkonstruksi pengetahuan matematika. Dalam
menyelesaikan suatu masalah yang dimulai dari masalah-masalah yang dapat
dibayangkan oleh peserta didik, peserta didik diberi kebebasan menemukan
strategi sendiri, dan secara perlahan-lahan pendidik membimbing peserta
didiknya menyelesaikan masalah tersebut secara matematis formal melalui
matematisasi horisontal dan vertikal (Supinah dan Agus D.W, 2009: 70).
Dalam
matematisasi horisontal, peserta didik mulai dari soal-soal kontekstual,
mencoba menguraikan dengan bahasa dan simbol yang dibuat sendiri, kemudian
menyelesaikan soal tersebut. Dalam proses ini, setiap peserta didik dapat menggunakan
cara mereka sendiri yang mungkin berbeda dengan peserta didik yang lain. Dalam
matematisasi vertikal, peserta didik juga mulai dari soal-soal kontekstual, tetapi
dalam jangka panjang mereka dapat menyusun prosedur tertentu yang dapat
digunakan untuk menyelesaikan soal-soal sejenis secara langsung, tanpa bantuan
konteks. Hal tersebut dinyatakan oleh (Supinah dan Agus D.W 2009: 71)
· Prinsip Pembelajaran Matematika
Realistik
Untuk
dapat melaksanakan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) harus mengetahui
beberapa prinsip yang digunakan PMR. Pembelajaran Matematika Realistik
menggunakan prinsip-prinsip RME. Ada tiga prinsip RME menurut Gravemeijer
(Supinah dan Agus D.W 2009: 72-74) yaitu Guided reinvention, Didactical
Phenomenology, dan Self Developed Models.
a. Guided Reinvention atau Menemukan
Kembali Secara Seimbang
Memberikan
kesempatan bagi peserta didik untuk melakukan matematisasi dengan masalah kontekstual
yang realistik bagi mereka dengan bantuan dari pendidik. Peserta didik didorong
atau ditantang untuk aktif bekerja bahkan diharapkan dapat mengkonstruksi atau
membangun sendiri pengetahuan yang akan diperolehnya. Pembelajaran tidak
dimulai dari sifat-sifat atau definisi atau teorema dan selanjutnya diikuti
contoh-contoh, tetapi dimulai dengan masalah kontekstual atau real/nyata yang
selanjutnya melalui aktivitas siswa diharapkan dapat ditemukan sifat, definisi,
teorema, ataupun aturan oleh peserta didik itu sendiri.
b. Didactical Phenomenology atau Penomena
Didaktik
Topik-topik
matematika disajikan atas dasar aplikasinya dan kontribusinya bagi perkembangan
matematika. Pembelajaran matematika yang cenderung berorientasi kepada memberi
informasi atau memberitahu peserta didik dan memakai matematika yang sudah siap
pakai untuk memecahkan masalah, diubah dengan menjadikan masalah sebagai sarana
utama untuk mengawali pembelajaran sehingga memungkinkan peserta didik dengan
caranya sendiri mencoba memecahkannya. Dalam memecahkan masalah tersebut,
peserta didik diharapkan dapat melangkah ke arah matematisasi horisontal dan
matematisasi vertikal. Pencapaian matematisasi horisontal ini, sangat mungkin
dilakukan melalui langkah-langkah informal sebelum sampai kepada matematika
yang lebih formal. Dalam hal ini, peserta didik diharapkan dalam memecahkan
masalah dapat melangkah ke arah pemikiran matematika sehingga akan mereka
temukan atau mereka bangun sendiri sifat-sifat atau definisi bahkan teorema
matematika tertentu (matematisasi horisontal), kemudian ditingkatkan aspek
matematisasinya (matematisasi vertikal). Kaitannya dengan matematisasi
horisontal dan matematisasi vertikal ini, De Lange menyebutkan proses
matematisasi horisontal antara lain meliputi proses atau langkah-langkah
informal yang dilakukan peserta didik dalam menyelesaikan suatu masalah (soal),
membuat model, membuat skema, menemukan hubungan, dan lain-lain, sedangkan
matematisasi vertikal, antara lain meliputi proses menyatakan suatu hubungan
dengan suatu formula (rumus), membuktikan keteraturan, membuat berbagai model,
merumuskan konsep baru, melakukan generalisasi, dan sebagainya. Proses
matematisasi horisontal-vertikal inilah yang diharapkan dapat memberi
kemungkinan peserta didik lebih mudah memahami matematika yang berobyek
abstrak. Dengan masalah kontekstual yang diberikan pada awal pembelajaran
seperti tersebut di atas, dimungkinkan banyak/beraneka ragam cara yang
digunakan atau ditemukan oleh peserta didik itu sendiri dalam menyelesaikan
masalah. Dengan demikian, peserta didik mulai dibiasakan untuk bebas berpikir
dan berani berpendapat, karena cara yang digunakanpeserta didik satu dengan
yang lain berbeda atau bahkan berbeda dengan pemikiran pendidik tetapi cara itu
benar dan hasilnya juga benar. Dengan memperhatikan fenomena didaktik yang ada
di dalam kelas, maka akan terbentuk proses pembelajaran matematika yang tidak
lagi berorientasi pada pendidik, tetapi diubah atau beralih kepada pembelajaran
matematika yang berorientasi pada peserta didik atau bahkan berorientasi pada
masalah.
c. Self Developed Models atau Model di
Bangun Sendiri oleh Siswa
Pada
waktu peserta didik mengerjakan masalah kontekstual, siswa mengembangkan suatu
model. Model ini diharapkan dibangun sendiri oleh peserta didik, baik dalam
proses matematisasi horisontal ataupun vertikal. Kebebasan yang diberikan
kepada peserta didik untuk memecahkan masalah secara mandiri atau kelompok,
dengan sendirinya akan memungkinkan munculnya berbagai model pemecahan masalah
buatan siswa.
· Karakteristik Pembelajaran Matematika
Realistik
Beberapa
karakteristik pembelajaran matematika realistik menurut Gravemeijer
(Tarigan,2006:6) adalah sebagai berikut:
a. Penggunaan konteks
Yaitu
proses pembelajaran diawali dengan keterlibatan peserta didik dalam pemecahan
masalah kontekstual.
b. Instrumen vertikal
Yaitu
konsep atau ide matematika direkonstruksikan oleh peserta didik melalui
model-model instrumen vertikal, yang bergerak dari prosedur informal ke bentuk
formal.
c. Konstribusi Peserta Didik
Yaitu
peserta didik aktif mengkonstruksi sendiri bahan matematika berdasarkan
fasilitas dengan lingkungan belajar yang disediakan pendidik, secara aktif
menyelesaikan soal dengan cara masing-masing.
d. Kegiatan interaktif
Yaitu
kegiatan belajar bersifat interaktif, yang memungkinkan terjadi negosiasi antar
peserta didik.
e. Keterkaitan topik
Yaitu
pembelajaran suatu bahan matematikaterkait dengan berbagai topik matematika.
· Langkah-langkah Pembelajaran Matematika
Realistik
Secara
umum langkah-langkah pembelajaran matematika realistik dapat dijelaskan sebagai
berikut :
a. Persiapan
Selain
menyiapkan masalah kontekstual, pendidik harus benar-benar memahami masalah dan
memiliki berbagai macam strategi yang mungkin akan ditempuh peserta didik dalam
menyelesaikannya.
b. Pembukaan
Pada
bagian ini peserta didik diperkenalkan dengan strategi pembelajaran yang
dipakai dan diperkenalkan kepada masalah dari dunia nyata kemudian peserta
didik diminta untuk memecahkan masalah tersebut dengan cara mereka sendiri.
c. Proses pembelajaran
Peserta
didik mencoba berbagai strategi untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan
pengalamannya, dapat dilakukan secara perorangan maupun secara kelompok. Setiap
peserta didik atau kelompok mempresentasikan hasil kerjanya di depan peserta
didik atau kelompok lain dan peserta didik atau kelompok lain memberi tanggapan
terhadap hasil kerja peserta didik atau kelompok penyaji. pendidik mengamati
jalannya diskusi kelas dan memberi tanggapan sambil mengarahkan peserta didik
untuk mendapatkan strategi terbaik serta menemukan aturan atau prinsip yang
bersifat lebih umum.
d. Penutup
Setelah
mencapai kesepakatan tentang strategi terbaik melalui diskusi kelas, peserta
didik diajak menarik kesimpulan dari pelajaran saat itu. Pada akhir
pembelajaran peserta didik harus mengerjakan soal evaluasi dalam bentuk
matematika formal.
3. Teori Belajar Confrey
Confrey
adalah seorang ahli psikologi yang berasal dari aliran kontruktivisme yang
berkontribusi dalam dunia pendidikan, menawarkan suatu powerfull construction dalam matematika. Dalam mengkonstruksi ia
mengidentifikasikan sepuluh karakteristik powerfull
construction berpikir peserta didik. Powerfull
construction tersebut ditandai oleh:
a. Sebuah struktur dengan ukuran kekonsistenan
internal
b. Suatu keterpaduan antar bermacam – macam
konsep
c. Suatu kekonvergenan diantara aneka
bentuk dan konteks
d. Kemampuan untuk merefleksikan dan
menjelaskan
e. Sebuah kesinambungan sejarah
f. Terikat kepada bermacam-macam sistem
simbol
g. Suatu yang cocok dengan pendapat experts
(ahli)
h. Suatu yang potensial untuk bertindak
sebagai alat untuk konstruksi lebih lanjut
i. Sebagai petunjuk untuk tindakan
selanjutnya
j. Suatu kemampuan untuk menjustifikasi dan
mempertahankan.
Semua ciri-ciri powerfull diatas dapat digunakan secara efektif dalam
proses pembelajaran di kelas. Menurut Confrey (dalam Suherman, 2003), peserta
didik yang belajar matematika sering kali hanya menetapkan suatu kriteria
evaluasi mereka dari yang mereka konstruksi. Akibatnya pengetahuan matematika
menjadi terisolasi dari sisa pengalaman
mereka yang dikonstruksi dari aksi mereka di dunia dalam pola yang
spontan dan interaktif. Oleh karena itu,
pandangan peserta didik tentang ‘kebenaran’ ketika merekamempelajari matematika
perlu mendapat pengawasan ahli dan masyarakat menjadi tidak lengkap. Dalam
kasus ini peranan pendidik dan peranan peserta didik lain adalah menjustifikasi
berpikirnya peserta didik dalam matematika.
Salah
satu yang mendasar dalam pembelajaran matematika menurut konstruktivis adalah
suatu pendekatan dengan jawaban tak terduga sebelumnya dengan suatu ketertarikan yang cerdik dalam mempelajari
karakter, keaslian, cerita dan implikasinya. Pandangan konstruktivisme dalam
proses pembelajaran menghendaki adanya pergeseran dari peran pengajar sebagai
otoritas ilmu menuju peran pengajar sebagai fasilitator dan mediator yang kreatif.
Dengan demikian disini pendidik dituntut senantiasa bereksplorasi dalam
mengelola pembelajaran, mengemas sajian materi pada buku teks sedemikian rupa
sehingga menarik bagi peserta didik dan bertindak sebagai fasilitator dan
mediator dalam pembelajaran yang dikelolanya. Salah satu prinsip yang paling
penting dalam psikologi pendidikan adalah pendidik tidak hanya semata-mata
memberikan pengetahuan kepada peserta didik tetapi peserta didik harus
membangun pengetahuan sendiri dalam benaknya. Dalam proses ini pendidik dapat
membantu dengan cara-cara mengajar sehingga informasi menjadi sangat bermakna
dan sangat relevan bagi peserta didik, dengan memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-idenya, mengajak
peserta didik agar menyadari dan secara sadar menggunakan strategi-strategi
mereka sendiri untuk belajar. “Teori Konstruktivis memandang peserta didik
terus-menerus memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan
aturan-aturan lama dan merevisi aturan-aturan itu jika tidak sesuai lagi”.
4. Teori BelajarCobb
Menurut
Cobb (Suherman,2001:71) bahwa belajar matematika merupakan proses dimana
peserta didik secara aktif mengkonstruksi pengetahuan matematika.
Para
ahli konstruktivis setuju bahwa belajar matematika manipulasi aktif dari
pemaknaan bukan hanya bilangan dan rumus-rumus saja. Lebih jauh lagi para ahli
konstruktivis merekomendasikan untuk menyediakan lingkungan belajar dimana
peserta didik dapat mencapai konsep dasar, keterampilan algoritma dan kebiasaan
bekerja sama dan refleksi. Dalam kaitannya dengan belajar, Cobb (suherman,2001:72) beserta ahli psikologi
yang lain menguraikan bahwa belajar dipandang sebagai proses aktif dan
konstruktif dimana peserta didik mencoba untuk menyelesaikan masalah yang
muncul sebagaimana mereka berpartisipasi secara aktif dalam latihan matematika
di kelas. Menurut paham konstruktivisme peranan pendidik bukan pemberi jawaban
akhir atas pertanyaan-pertanyaan peserta didik, melainkan mengarahkan mereka
untuk membentuk (mengkonstruksi) pengetahuan matematika sehingga diperoleh
struktur matematika. Sedangkan dalam paradigma tradisional, pendidik mendominasi
pembelajaran dan pendidik senantiasa menjawab dengan segera tentang
pertanyaan-pertanyaan peserta didik.
Selain
itu, menurut konstruktivis bahwa secara substantif, belajar matematika adalah
proses pemecahan masalah. (Cobb, Thompson, dan von Glaserfeld, dalam Suherman,
2003). Konstruktivisme telah memfokuskan secara eksklusif pada proses dimana
peserta didik secara individual aktif mengkonstruksi realitas matematika mereka
sendiri.(Cobb et.al, dalam Suherman, 2003 )
5. Teori Belajar Treffers
Treffers
mengklasifikasikan pendidikan matematika berdasarkan horizontal dan vertikal
mathematization(matematisasi) ke dalam empat tipe:
a. Mechanistic
atau ‘pendekatan traditional’.
Pendekatan ini didasarkan
pada ‘drill-practice’ dan pola atau pattern, yang menganggap orang seperti
komputer atau suatu mesin (mekanik). Pada pendekatannya, baik horizontal dan vertikal mathematization tidak digunakan.
b. Empiristicatau
‘dunia adalah realitas’.
Dimana
peserta didik dihadapkan dengan situasi dimana mereka harus menggunakan
aktivitas horizontal mathematization.
Treffers (1991) mengatakan bahwa pendekatan ini secara umum jarang digunakan
dalam pendidikan matematika.
c. Structuralist
atau ‘Matematika modern’.
Pendekatan
ini didasarkan pada teori himpunan dan game yang bisa dikategorikan ke horizontal mathematization tetapi di
tetapkan dari dunia yang dibuat secara ‘ad
hoc’, yang tidak ada kesamaan dengan dunia peserta didik.
d. Realistic
Yaitu pendekatan yang menggunakan suatu
situasi dunia nyata atau suatu konteks sebagai titik tolak dalam belajar matematika.
Pada tahap ini peserta didik melakukan aktivitas horizontal mathematization. Maksudnya siswa mengorganisasikan
masalah dan mencoba mengidentfikasi aspek matematika yang ada pada masalah
tersebut. Kemudian, dengan menggunakan vertical
mathematization siswa tiba pada tahap pembentukan konsep.
· Secara umum, teori RME terdiri dari lima
karakteristik yaitu:
a. Penggunaan real konteks sebagai titik tolak
belajar matematika
b. Penggunaan model yang menekankan
penyelesaian secara informal sebelum menggunakan cara formal atau rumus
c. Mengaitkan sesama topik dalam matematika
d. Penggunaan metode interaktif dalam
belajar matematika
e. Penghargai ragam jawaban dan kontribusi
peserta didik
6. Teori Belajar Polya
George
Polya merupakan putra keempat dari lima bersaudara dari pasangan suami istri
berdarah Yahudi, Jakab Polya dan Anna Deutsch.
Sejak kecil ia
diarahkan untuk mempelajari bahasa karena ibunya ingin agar George meneruskan
profesi ayahnya sebagai seorangpengacara dengan kuliah di bidang hukum. George
lulus sekolah dasar pada tahun1894, sebelum melanjutkan di Daniel Berzsenyi
Gymnasium guna belajar bahasaYunani klasik dan bahasa Latin selain bahasa
Jerman modern maupun bahasa asli
Hongaria. Minat George
adalah biologi dan studi kepustakaan, namun menonjol dalam bidang geografi dan
subyek-subyek lain. Matematika bukan bidang yangdisukai George.
Di
sekolah, nilai mata pelajaran geometri mendapat nilai sedikit lebih
baikdibanding aritmatika. Disinyalir bahwa cara mengajar pendidik yang salah
membuat peserta didik tidak dapat berprestasi.
George
lulus dan masuk universitas Budapest pada tahun 1905 dengan
biaya ditanggung oleh
Jeno yang sudah menjadi seorang ahli bedah. Awalnya George mengambil jurusan
hukum, namun hanya bertahan satu semester karenadianggapnya membosankan.
Banting setir dengan belajar berbagai bahasa dankepustakaan yang menjadi minat
utamanya, namun bertahan selama 2 tahun yangmemperoleh sertifikat sebagai bekal
untuk mengajar bahasa Latin di sekolahmenengah. Kecewa dengan kenyatan ini,
George memutuskan untuk belajarfilsafat, namun seorang profesor Bernat
Alexander, menyarankan agar Georgemengambil mata pelajaran fisika dan
matematika untuk membantu memahamifilsafat. Nasihat ini dituruti dan George
belajar matematika. Disebutkannya bahwafisika terlalu sulit dan filsafat terasa
terlalu mudah, sedang matematika berada ditengah-tengah.
Di
universitas Budapest, Polya belajar fisika di bawah Eotvos danmatematika
dibimbing oleh Fejer. Fejer pada saat itu adalah salah seorangmatematikawan
terkemuka Hongaria. Bersama Fejer, Polya membuat karyakaryakolaborasi, dimana
pengaruh Fejer sangat terasa pada karya-karya Polya.
Tahun
1910 - 1911, Polya kuliah di universitas Vienna, dengan uang yangdiperoleh
lewat mengajar anak-anak orang kaya sebagai dosen pribadi. Di sini, kembali Polya
mendapatkan matematika dari tangan Wirtinger dan Mertensmeskipun menambah
pengetahuan fisika dengan kuliah teori relativitas, optik dantopik-topik
lainnya.Tahun berikutnya, Polya kembali ke Budapest dan dianugerahi dengangelar
doktorat di bidang matematika, terutama, dengan belajar sendiri,
teoriprobabilitas geometri. Tahun 1912 dan 1913 kembali menekuni matematika
diGottingen lewat kumpulan matematikawan terkemuka di dunia seperti:
Hilbert,Weyl, Edmund Landau, Runge, Courant, Hecke dan Toeplitz.
Polya
bertemu dengan Szego di Budapest pada kisaran tahun 1913, ketikayang baru
pulang menuntut ilmu di mancanegara. Szego pada saat itu masihmahasiswa di
Budupest dan bersama dengannya Polya mendiskusikan praduga(conjecture) karyanya terntang koefisien-koefisien Fourier. Szego
tertarik untukmembuktikan praduga Polya yang dijadikan karya publikasi
perdananya.
Beberapa
tahun kemudian, ketika Polya memutuskan untuk menulis buku tentangproblem-problem
dalam analisis, maka dia meminta bantuan Szego dan hampirselama dua tahun mereka
bekerja bersama.Hasilnya buku karya Polya dan Szego tentang problem-problem
dalamanalisis sangat berbeda. Polya menjelaskan bahwa bukan problem yang
menjadisubyek, tapi metode dalam solusi lebih menjadi penekanan. Mereka
bersamasamamenemui penerbit pada tahun 1923 dan karya mereka diterbitkan dalam
duajilid.
Tahun
1920, Polya diangkat menjadi profoseor luar biasa di ETZ disusul
memperoleh bea siswa
dari Rockefeller (Rockefeller Dellowship)
pada tahun 1924, yang memungkinkan dirinya belajar bersama Hardy di Inggris.
Mulai tahunitu, Polya terkadang berada di Oxford atau Cambridge, bekerja
bersama Hardydan Littlewood. Buku karya trio matematikawan ini terbit pada
tahun 1934dengan judul Inequalities. Sambil mengerjakan buku itu, Polya juga
membuat 31makalah pada kurun waktu 1926-1928. Jangkauan topik, kedalaman
danbanyaknya publikasi yang dilakukannya membuat diangkat menjadi
Ordinaryprofesor di ETH pada tahun 1928.
Polya
layak disebut matematikawan paling berpengaruh pada abad 20.Riset mendasar yang
dilakukan pada bidang analisis kompleks, fisikamatematikal, teori probabilitas,
geometri dan kombinatorik banyak memberi sumbangsi bagi perkembangan matematika.
Sebagai seorang pendidik yang piawai,minat mengajar dan antusiasme tinggi tidak
pernah hilang sampai akhir hayatnya.
Semasa
di Zurich-pun, karya-karya di bidang matematika sangat beragam
dan produktif. Tahun
1918, mengarang makalah tentang deret, teori bilangan,
sistem voting dan
kombinatorik. Tahun berikutnya, menambah dengan topik, seperti astronomi dan
probabilitas. Meskipun pikiran sepenuhnya ditumpahkan
untuk topik-topik di
atas, namun Polya mampu membuat hasil mengesankan pada fungsi-fungsi integral.
Tahun
1933, Polya kembali mendapatkan Rockefeller Fellowship dan kaliini dia pergi ke
Princeton. Saat di Amerika, Polya diundang oleh Blichfeldt untukmengunjungi
Stanford yang menarik minatnya. Kembali ke Zurich pada tahun1940, namun situasi
di Eropa – menjelang PD II, memaksa Polya kembali keAmerika. Bekerja di
universitas Brown dan Smith College selama 2 tahun, sebelum menerima undangan
dari Stanford yang diterimanya dengan senang hati.Sebelum meninggalkan Eropa,
Polya sempat mengarang buku “How tosolve
it” yang ditulis dalam bahasa Jerman. Setelah mencoba menawarkan keberbagai
penerbit akhirnya dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris sebelumditerbitkan
oleh Princeton. Buku ini ternyata menjadi buku best seller yang terjuallebih
dari 1 juta copy dan kelak dialihbahasakan ke dalam 17 bahasa.Buku ini
berisikan metode-metode sistematis guna menemukan solusi atasproblem-problem
yang dihadapi dan memungkinkan seseorang menemukanpemecahannya sendiri karena
memang sudah ada dan dapat dicari.
Di
bawah ini disajikan ringkasan dari buku “How
to solve it”. Disebutkanada beberapa tahapan untuk menyelesaikan problem,
yaitu:
a. Memahami problem
Problem
apa yang dihadapi? Bagaimana kondisi dan datanya? Bagaimanamemilah
kondisi-kondisi tersebut?
b. Menyusun rencana
Menemkan
hubungan antara data dengan hal-hal yang belum diketahui.Apakah pernah problem
yang mirip?
c. Melaksanakan rencana
Menjalankan
rencana guna menemukan solusi, periksa setiap langkahdengan seksama untuk
membuktikan bahwa cara itu benar.
d. Menengok ke belakang
Melakukan
penilaian terhadap solusi yang didapat.
Keempat
tahapan ini lebih dikenal dengan See (memahami problem), Plan (menyusun
rencana), Do (melaksanakan rencana) dan Check (menguji jawaban).
Sudah menjadi pekerjaan sehari-hari
dalam penyelesaian problem sehingga Polyalayak disebut dengan “Bapak problem
solving.”
7. Teori Belajar Zahorik
Zoharik
adalah seorang ahli psikologi kontruktivisme yang berperan penting dalam
perkembangan model pembelajaran
kontekstual.
Crowford
(2001) mencatat setidaknya ada lima strategi pembelajaran kontekstual yaitu
Relating, Experinecing, Applying, Cooperating, dan Transfering. Kelimanya
merupakan strategi pembelajaran yang dilaksanakan dalam konteks tempat
lingkungan kelas, laboratorium, masyarakat, dan tempat kerja. Penjelasan
masing-masing strategi tersebut sebagai berikut. Relating merupakan strategi mengajar
kontekstual yang paling berpengaruh, yang beredar di "jantung"
konstruktivis, terkait dengan konteks pengalaman hidup atau pengetahuan awal
peserta didik. Di mana setiap pendidik mengkaitkan konsep baru dengan ide yang
akrab dengan siswa. Experiencing adalah strategi mengajar yang melibatkan
peserta didik, tujuannya agar melakukan kegiatan belajar dengan learning by
doing yaitu mengalami sendiri melalui kegiatan eksperimen, penelitian, dan
penciptaan. Kegiatan langsung dapat melibatkan manipulasi, pemecahan masalah,
kegiatan praktikum di lapangan. Applying merupakan penerapan konsep yang ada
dengan atau pada konteks lain. Cooperating adalah melakukan kegiatan kerjasama
antar peserta didik, seperti melalui kegiatan diskusi kelompok atau diskusi
kelas dan melakukan kegiatan praktikum di lapangan secara berkelompok.
Selanjutnya, transfering merupakan kegiatan belajar penggunaan konsep pada
konteks baru.
Nurhadi
(2002:5) menjelaskan pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar yang
membantu pendidik mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi
dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai
anggota keluarga dan masyarakat. Dengan demikian, basil pembelajaran diharapkan
lebih bermakna bagi peserta didik. Proses pembelajaran berlangsung alamiah
dalam bentuk kegiatan peserta didik bekerja dan mengalami, bukan mentransfer
pengetahuan dari pendidik kepada peserta didik. Selanjutnya, Nurhadi mencatat
15 kata kunci pembelajaran kontekstual sebagai berikut:
a. Real world learning
b. Mengutamakan pengalaman nyata
c. Berpikir tingkat tinggi
d. Berpusat pada peserta didik
e. Peserta didik aktif, kritis, dan kreatif
f. Pengetahuan bermakna dalam kehidupan
g. Dekat dengan kehidupan nyata
h. Perubahan perilaku
i. Siswa praktik bukan menghafal
j. Learning bukan teaching
k. Pendidikan (education) bukan pengajaran
(instruction)
l. Membentukan manusia
m. Memecahkan masalah
n. Peserta didik "acting"
pendidik mengarahkan
o. Hasil belajar diukur dengan berbagai
cara bukan hanya dengan tes.
Dengan
mengutip pemikiran Zahorik (E. Mulyasa 2003) dalam aliran kontruktivisme dan mengemukakan
lima elemen yang harus diperhatikan dalam pembelajaran kontekstual:
a. Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada
(activating knowledge)
b. Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring
knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian
memeperhatikan detailnya
c. Pemahaman pengetahuan (understanding
knowledge), yaitu dengan cara menyunsun:
· Konsep sementara (hipotesis)
· Melakukan sharing kepada orang lain agar
mendapat tanggapan (validasi) dan atas dasar tanggapan itu
· Konsep tersebut direvisi dan
dikembangkan
· Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman
tersebut (applying knowledge )
d. Pembelajaran ditekankan pada upaya
mempraktekan secara langsung apa-apa yang dipelajari.
e. Melakukan refleksi (reflecting
knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan yang telah dipelajari
·
Implementasi Teori Belajar Dalam Pembelajaran
Matematika
Berbagai
teori belajar diatas dapat diimplementasikan pada proses belajar-mengajar.
Pemakalah mengambil satu cotoh aliran yang akan diimplementasikan yaitu Aliran
Kontruktivisme.
Konsep-konsep
matematika tersusun secara hierarkis, terstruktur, logis dan sistematis mulai
dari konsep yang paling sederhana sampai pada konsep yang paling kompleks.
Dalam matematika terdapat topik atau konsep prasyarat sebagai dasar untuk
memahami topik atau konsepselanjutnya.
Menurut
konstruktivis secara substantif, belajar matematika adalah proses pemecahan
masalah. Dalam hal ini fokus utama belajar matematika adalah memberdayakan
peserta didik untuk berpikir mengkonstruksi pengetahuan matematika yang pernah
ditemukan oleh ahli sebelumnya. Evaluasi dalam pembelajaran matematika secara
konstruktivis terjadi sepanjang proses pembelajaran berlangsung (on going
assesment).
Selain
itu, data kemampuan peserta didik dalam matematika harus memasukkan pengetahuan
tentang konsep matematika, prosedur matematika, kemampuan problem solving,
reasoning dan komunikasi.
Dari
sudut pandang konstruktivis, Koehler dan Grouws (dalam Suherman, 2003)
menyatakan bahwa pembelajaran telah dipandang sebagai suatu garis kontinum
antara negosiasi dan imposition pada ujung-ujungnya. Lebih jauh lagi, Cobb dan
Steffe menambahkan bahwa “…..dalam
pandangan konstruktivisme guru harus secara terus menerus menyadarkan untuk
mencoba keduanya aksi peserta didik dengan dirinya dari sudut pandang peserta
didik ”. Seorang yang memandang bahwa belajar adalah suatu transmisi, maka
proses mengetahui akan mengikuti model imposition (pembebanan). Sedangkan yang
berpandangan bahwa mengajar adalah suatu proses memfasilitasi suatu konstruksi,
maka ia akan mengikuti model negosiasi. Aktivitas guru dikelas dipengaruhi oleh
paham mereka tentang pembelajaran.Perbedaan individu di kelas berimplikasi
bahwa pendidik diisyaratkan untuk mempertimbangkan bagaimana menerapkan
pembelajaran matematika agar dapat melayani secara cukup
perbedaan-perbedaan individu peserta
didik.
Berkenaan
dengan perbedaan individu, Board of Studies tahun 1995 menyatakan bahwa
“peserta didik akan mencapai prestasi belajar dalam kecepatan yang berbeda dan
secara kualitatif dalam cara-cara yang berbeda”. Lovitt dan Clarke, 1988 (dalam
Suherman, 2003) menambahkan bahwa “kualitas pembelajaran ditandai dengan berapa
luas dalam lingkungan belajar:
· Mulai dari mana peserta didik ini
berada.
· Mengenali bahwa peserta didik belajar
dengan kecepatan yang berbeda dan cara yang berbeda.
· Melibatkan peserta didik secara fisik
dalam proses belajar.
· Meminta peserta didik untuk menvisualkan
yang imajiner….”
Dengan
demikian ada suatu perbedaan yang sangat berarti antara pembelajaran matematika
menggunakan paradigma konstruktivisme dan pendekatan tradisional. Di dalam konstruktivisme
peranan pendidik bukan pemberi jawaban akhir atas pertanyaan peserta didik,
melainkan mengarahkan mereka untuk membentuk (mengkonstruksikan) pengetahuan
matematika sehingga diperoleh struktur matematika. Sedangkan dalam paradigma
tradisional, pendidik mendominasi pembelajaran dan pendidik sanantiasa menjawab
‘dengan segera‘ terhadap pertanyaan-pertanyaan peserta didik.
Implikasi
dari perbedaan-perbedaan di atas menjadikan posisi pendidik dalam pembelajaran
matematika untuk bernegosiasi dengan peserta didik, bukan memberikan jawaban
akhir yang telah jadi. Negosiasi yang dimaksudkan di sini adalah berupa
pengajuan pertanyaan-pertanyaan yang menantang peserta didik untuk berpikir
lebih lanjut yang dapat mendorong mereka sehingga penguasaan konsepnya semakin
kuat. Tidak hanya itu, implikasi pandangan konstruktivis dalam pembelajaran
matematika, pendidik akan bertindak sebagai mediator dan fasilitator yang
membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri
peserta didik. Pembelajaran matematika yang menggunakan pendekatan
konstruktivis, maka strategi yang sesuai dengan kondisi tersebut adalah dengan
pemberian tugas rumah, karena dapat memberikan suatu motivasi kepada siswa
untuk memahami suatu konsep secara utuh melalui pengerjaan tugas dengan kondisi
dan situasi yang tidak hanya terpaku pada ruang kelas dan keterbatasan waktu
dalam proses belajar. Peserta didik dapat berusaha memahami suatu masalah
beserta pemecahannya berdasarkan kecepatan dan kemampuannya sendiri. Dengan
demikian diharapkan dapat memberi suatu motivasi kepada peserta didil untuk
berperan aktif dalam proses pembelajaran dan menimbulkan tangggapan positif
terhadap matematika.
BAB
III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a. Belajar adalah kegiatan yang berproses
dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis
pembelajaran dan jenjang pendidikan. Ini berarti, bahwa berhasil atau gagalnya
pencapaian tujuan pendidikan itu amat tergantung pada proses belajar yang
dialami peserta didik baik ketika ia berada di sekolah maupun di lingkungan
rumah atau keluarganya sendiri.
b. teori belajar dapat dipahami sebagai
prinsip umum atau kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan
penjelasan atau sejumah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa
belajar (Muhibbin,2003:92)
c. Pembelajaran matematika menurut
pandangan konstruktivisme adalah membantu pembelajaran matematika membangun
konsep-konsep, prinsip-prinsip matematika dengan kemampuannya sendiri melalui
proses internalisasi sehingga prinsip atau konsep itu terbangun kembali dan
transformasi dan informasi yang diperoleh menjadi konsep atau prinsip baru.
d. Diantara sekian banyak teori belajar,
dalam perkembangannya ini terdapat empat macam arus besar teori belajar, yaitu
:
e. Aliran Behaviorisme
f. Aliran Kognitif
g. Aliran Humanistis
h. Aliran Kontruktivisme
Empat
aliran ini memiliki pijakan berpikir yang sangat jelas perbedaannya. Aliran
behaviorisme memandang belajar sebagai perubahan tingkah laku, sehingga belajar
merupakan rangkaian aktivitas mengelola stimulus untuk mendapatkan respon yang
diinginkan, sedangkan aliran kognitif memandang belajar sebagai perubahan
struktur kognitif, aliran humanistis memandang belajar sebagai penyusunan dan
penyajian materi pelajaran yang harus sesuai dengan perasaan dan perhatian
siswa, serta aliran kontruktivisme yang memandang bahwa proses pembelajaran
adalah bagaimana pengetahuan disusun dalam pemikiran pelajar.
i.
Teori
Polya
Pemecahan
masalah merupakan aktivitas intelektual yang paling tinggi. Pemecahan masalah
harus didasarkan atas adanya kesesuaian dengan struktur kognitif yang dimiliki
siswa, supaya tidak terjadi stagnasi.
Tahapan pemecahan
masalah:
1) Memahami masalah
2) membuat rencana/cara
penyelesaian masalah
3) menjalankan
rencana/menyelesaikan masalah
4) melihat
kembali/recek.
j.
Freudenthal
dan Treffers (RME: Realistic Mathematics Education)
· Pematematikaan: horizontal (H),
diteruskan vertikal (V)realistic (H+,V+)
· Mekanistik (drill & practice: (H-
dan V-); empiris (H+, V-) strukturilistik (H-, V+)
k. Teori Van Hiele
Tahap perkembangan
siswa dalam memahami geometri:
1) Pengenalan
2) analisis
3) pengurutan
4) deduksi
5) keakuratan (rigor)
l.
Teori
Confrey
Confrey
(dalam Suherman, 2003), menawarkan suatu powerfull construction dalam matematika.
Dalam mengkonstruksi ia mengidentifikasikan sepuluh karakteristik powerfull
construction berpikir siswa. Powerfull construction tersebut ditandai oleh:
· Sebuah struktur dengan ukuran
kekonsistenan internal
· Suatu keterpaduan antar bermacam – macam
konsep
· Suatu kekonvergenan diantara aneka
bentuk dan konteks
· Kemampuan untuk merefleksikan dan
menjelaskan
· Sebuah kesinambungan sejarah
· Terikat kepada bermacam – macam sistem
simbol
· Suatu yang cocok dengan pendapat experts
(ahli)
· Suatu yang potensial untuk bertindak
sebagai alat untuk konstruksi lebih lanjut
· Sebagai petunjuk untuk tindakan selanjutnya
· Suatu kemampuan untuk menjustifikasi dan
mempertahankan.
m. Teori Zahorik :
· Pembelajaran harus memperhatikan
pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta didik
· Pembelajaran dimulai dari keseluruhan
(global) menuju bagian-bagiannya secara khusus (dari umum ke khusus)
· Pembelajaran harus ditekankan pada
pemahaman, dengan cara: (a) menyusun konsep sementara; (b) melakukan sharing
untuk memperoleh masukan dan tanggapan dari orang lain; dan (c) merevisi dan
mengembangkan konsep.
· Pembelajaran ditekankan pada upaya
mempraktekan secara langsung apa-apa yang dipelajari.
· Adanya refleksi terhadap strategi
pembelajaran dan pengembangan pengetahuan yang dipelajari.
n. Teori Belajar Treffers
Treffers
mengklasifikasikan pendidikan matematika berdasarkan horizontal dan vertikal
mathematization (matematisasi) ke dalam empat tipe:
· Mechanistic
· Empiristic
· Structuralist
· Realistic
2. Saran
Saran
yang dapat diberikan mengenai pendekatan pembelajaran matematika menurut
konstruktivisme adalah dalam pembelajaran pendidik tidak dapat hanya
semata-mata memberikan pengetahuan kepada peserta didik. Peserta didik harus
membangun sendiri pengetahuan dalam benaknya. pendidik hanya membantu agar
informasi menjadi lebih bermakna dan relevan bagi peserta didik dengan menunjukkan
kesempatan kepada peserat didik untuk menggunakan strategi-strategi yang
dimilikinya untuk belajar. Selain itu, posisi pendidik dalam pembelajaran
matematika adalah untuk bernegosiasi dengan peserta didik, bukan memberikan
jawaban akhir yang telah jadi. Tidak hanya itu, pendidik seharusnya diharapkan
dapat bertindak sebagai mediator dan fasilitator yang membuat situasi yang
kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Melalui pemberian tugas rumah dengan pendekatan konstruktivis, diharapkan dapat
memberikan suatu motivasi kepada peserta didik untuk memahami suatu konsep
secara utuh melalui pengerjaan tugas dengan kondisi dan situasi yang tidak
hanya terpaku pada ruang kelas dan keterbatasan waktu dalam proses belajar.
Peserta didik dapat berusaha memahami suatu masalah beserta pemecahannya
berdasarkan kecepatan dan kemampuannya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah.2003.Problem Posing Dan Problem Solving Dalam
Pembelajaran Matematika.Bandung:Pustaka Ramadhan.
Suherman,
H. Erman, dkk.2003.Strategi Pembelajaran
Matematika Kontemporer.Jakarta:Universitas Pendidikan Indonesia.
Hartono.2012.Psikologi Konseling.Jakarta:Kencana
Malyono.2005.Psikologi Pendidikan.Jakarta:Renaka
Cipta
Syah,Muhibbin.2003.Psikologi Belajar.Jakarta:Raja Grafindo
Persada
http://masbied.files.wordpress.com/2011/05/modul-matematika-teori-belajar-polya.pdf
1 komentar:
Caesars Palace | Mapyro
View the Caesars Palace, 창원 출장안마 including the map, check 안양 출장안마 the 충청북도 출장샵 casino floor and 강원도 출장마사지 read reviews of all 2624CasinoSt. Louis Blvd. in East 경상북도 출장마사지 Chicago.
Posting Komentar